Pages

Rabu, 23 Januari 2013

Hari ke 19 : Kalau



Kalau saja dulu aku akhirnya tak memilihmu, pasti aku tidak akan merasa begitu beryukur pada Tuhan. Kalau saja dulu aku mengikuti kata hatiku untuk pergi meninggalkanmu, mungkin hidupku tak akan sebahagia ini. Kalau saja bukan kamu orangnya yang menjadi pendamping hidupku sekarang, aku pasti akan sangat menyesal dan menyalahkan kehidupan.
Kita tidak pernah kenal secara langsung. Kita tidak pernah bertemu pula sebelumnya. Tapi orang tua kita punya janji masa muda untuk menikahkan anak mereka. Memang terlihat kuno dan jauh berbeda dari kebudayaan modern, yang membebaskan anak-anak menemukan jodoh mereka sendiri.
Kabur? Sepertinya sudah sangat terlambat untuk melakukanya. Aku tidak bisa menjelaskan keadaannya secara detail. Tapi, semua terasa sudah diatur dengan rapi. Dan ya, akhirnya aku hanya bisa mempersiapkan diri dan tak mencoba untuk lari darimu. Lagipula, sekarang yang aku pikirkan hanyalah kedua orang tuaku. Aku sama sekali tak ingin mengecewakan mereka ketika aku akhirnya harus kabur meninggalkan semua ini. Tinggal besok dan segalanya akan berubah.
Aku mempersiapkan diriku. Aku tak peduli lagi dengan perkataan teman-temanku. Aku tak peduli lagi. Tiba-tiba hatiku sesak dengan keberanian dan keyakinanku akanmu. Aku mencoba menyakinkan diriku sendiri, bahwa kamu mampu untuk membuatku bahagia. Aku bertaruh dengan hidupku sendiri.
Esoknya, aku melihatmu disana. Kamu tampak gagah mengenakan pakaian adat itu. Setelah rangkaian upacara adat, akhirnya kita duduk disini. Kamu menghadap ayahku dan aku ada disampingmu. Tuhan, inilah saatnya. Inilah saatnya akhirnya aku mulai bertaruh dengan hidup.
Tanganmu terkait dengan tangan ayahku. Setelah ayahku berkata-kata, kamu langsung menyahut menerima aku sebagai tanggung jawabmu sekarang. Selesai semua mengatakan sah, aku tak bisa menyembunyikan air mataku yang begitu saja keluar. Aku tidak tahu kenapa aku menangis. Hanya ada perasaan yang menekanku disini, tepat di ulu hatiku. Tapi aku tidak tahu itu apa.
Aku memandangmu, lalu kamu menghapus air mataku. Kamu memegang tanganku dengan raut muka sedih. “Tolong jangan menangis. Bisakah kamu berjanji?” katamu berbisik. Aku mengangguk dan menghapus air mataku sendiri.
Kehidupan berikutnya berpindah pada sebuah rumah besar yang sudah disiapkan oleh orang tua kita. Kita sama-sama canggung, karena hanya akan ada kita berdua di rumah ini. Bahkan kita berdua tak saling bicara, karena tidak tahu harus berkata apa lagi awalnya.
Tapi aku berusaha mengurusmu dengan baik. Lama kelamaan canggung itu hilang, dan digantikan oleh rasa berdebar-debar padamu. Aku sadar, aku telah jatuh cinta padamu. Aku merasakan bahwa kamu selalu memenuhiku. Kamu begitu menghormatiku dan menghargaiku. Kamu juga menyayangiku dengan tulus. Aku menjadi selalu ingin bertemu denganmu, lagi dan lagi.
Aku selalu menunggumu pulang di depan TV. Kamu biasanya pulang agak malam karena jalanan yang macet ataupun karena ada kerja lembur di kantor. Kalau sudah begitu kamu selalu tak lupa untuk menelfon untuk mengabariku. Kamu juga selalu bilang, untuk tidak menunggumu di depan TV. Kamu lebih suka aku istirahat dan tidur duluan di kamar.
Tapi seringnya aku bandel, aku tertidur di depan TV saat aku bertekad menunggumu pulang. Kamu lalu menggendongku dan membaringkanku di tempat tidur, tak lupa kamu menyelimutiku. Ada perasaan hangat dan menggebu-gebu yang selalu memelukku ketika aku bersamamu.
Setiap berangkat kerja kamu selalu berpesan agar tidak bekerja terlalu keras. Kamu juga melarangku mencuci jeans yang berat. Kamu tidak pernah protes tentang masakanku yang cuman begini-begini saja. Aku sadar betul aku tidak terlalu mahir dalam memasak. Tapi kamu tetap memakannya, dan kamu selalu mengatakan enak.
Aku seringnya memasak makanan instan, kamu juga tidak pernah protes tentang ini. Kamu malah berkata, “Orang-orang barat tuh pinter ya, bikin yang instan-instan gini. Kamu kan jadi nggak perlu capek-capek masak” Aku tersenyum malu kalau sudah begitu.
Kamu juga selalu membuatku tersipu dengan surprice ulang tahun kecil-kecilanku. Hanya kamu dan aku yang merayakannya. Tapi hatiku sungguh berbunga-bunga dan bahagia. Aku tak pernah berhenti bersyukur, Tuhan telah menjodohkanku denganmu.
Hingga kita setua inipun, kamu tak pernah berusaha mengkhianatiku. Kamu begitu tulus padaku. Walau raga kita sudah rapuh dan rambut kita telah memutih, kamu tak banyak berubah dimataku. Kamu tetap kamu yang dulu. Kamu yang menatap mataku pertama kali pada pesta pertunangan kita dulu. Lalu kamu yang terlihat gagah memakai pakaian adat pengantin itu ketika memandangku. Aku masih melihatmu seperti dulu, ketika kita sama-sama masih muda.

1 komentar:

stellacyan

Aaaah bagus, suka pemilihan kata-katanya

Btw, mau mengoreksi dikit aja, harusnya 'surprise' bukan 'sureprice' :)

Posting Komentar