Pages

Rabu, 23 Januari 2013

Hari ke 17 : Kita Dulu



Kita bertemu lagi akhirnya, bahwa akhirnya aku kini telah menikah dengan orang lain dan kamu masih saja sendiri. Aku dulu pernah mengejarmu. Aku dulu pernah begitu menginginkanmu untuk menjadi pendamping hidupku. Aku dulu bisa dibutakan oleh perasaan ini  hingga aku meluruhkan gengsiku untuk mengejarmu.
            Aku tersenyum sendiri kalau aku mengingat semua usaha yang kulakukan untuk mendapatkanmu dulu. Rasanya konyol, aku merasa sangat malu dan tertawa sendiri jika mengingatnya. Padahal jelas-jelas aku tahu bahwa kamu sudah memilih dia dan hanya menganggapku seorang sahabat perempuan.

Tapi karena sudah sifatku yang keras kepala, aku terus saja mengejarmu. Berharap bahwa kamu pada akhirnya akan melihatku. Ya, aku yang sudah jelas mencintaimu dan mau menerima apa adanya kamu. Apa salah kalau akhirnya seorang sahabat akhirnya jatuh cinta?
Waktu itu aku berada dalam lingkaran hati. Ya, kamu mengejarnya, sedangkan aku mengejarmu dan dia mengejar yang lain. Dia tak ingin denganmu, kamu ingin dengannya, sedangkan aku ingin denganmu. Kita tetap saja saling berkejaran pada lingkaran itu.
Sampai aku sadar, bahwa tak akan ada akhirnya jika tidak ada salah satu dari kita yang akhirnya mencoba untuk mengerti dan memutuskan untuk berhenti mengejar. Dan ya, akhirnya aku yang memutuskan untuk berhenti. Bukan kemauanku sih sebenarnya, tapi kamu yang akhirnya memintaku untuk berhenti. Kamu yang meyakinkan aku bahwa yang kamu cinta hanyalah dia, bukan aku.
Waktu itu, ketika akhirnya aku mengatakan semuanya. Aku merasa sudah tidak kuat, hingga aku menelan gengsiku sendiri untuk menyatakan isi hatiku padamu.
“Saya sayang kamu, Ko. Udah dua tahun ini saya nungguin kamu. Saya nunggu kamu jatuh cinta sama saya. Dan ini, Liat! Saya mencopot kacamata dan menggantinya dengan softlens karena kamu. Saya diet mati-matian dan fitness yiap hari tiap pulang kerja, biar saya jadi wanita cantik dan paling nggak kamu ngeliat saya!”
Aku berhenti dan terisak, menghapus air mata lalu melanjutkan,
“Saya berusaha jadi cantik demi kamu. Cuman demi kamu! Saya yang ngertiin kamuk, Ko. Saya yang selalu ada buat kamu, waktu kamu susah, waktu kamu seneng. Saya lakuin apa aja buat kamu, tapi sekalipun kamu nggak pernah ngelihat saya. Saya pikir saya sendiri yang harus ngebuat kamu sadar bahwa saya sayang kamu. Saya ingin kamu, Ko” air mataku berlinang, membentuk anak-anak sungai dipipiku. Isakku semakin menjadi, lalu tubuhku melemah dan ambruk. Kamu segera mendekatiku lalu berkata,
            “Intan cantik, saya mohon kamu jangan begini. Saya minta maaf saya tidak bisa melihat dan membalas hati kamu. Karena sayang saya cuma satu dan itu hanya untuk dia. Saya sudah mengejarnya sejak kita sama-sama dibangku SMP… saya harap kamu mengerti” kamu memegang kedua bahuku.
            “Dan kenapa kamu tidak memilihku? Denganku, kamu tidak akan perlu menunggu selama itu agar aku membalas perasaanmu” aku berteriak juga memohon padanya bahwa aku! Aku yang pantas untukmu! Aku mencoba menyadarkanmu, bahwa yang cuma bisa mencintai kamu dengan sempurna hanya aku!
            Kamu menunduk dan tak bisa menatapku. Kamu menghela nafas panjang sebelum berkata, “Intan cantik, tapi saya sudah memilih. Dan sulit sekali move on dari dia. Bahkan saya nggak mau move on. Saya sudah terlanjur yakin bahwa dia adalah true love saya”
            “Apa sih yang kamu mau? Apa lebihnya dia dari aku? Kenapa kamu tidak denganku saja?”
            “Dia sudah mencuri hati saya lebih dulu. Dia cinta pertama saya”
“…” aku terdiam dan tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya merasakan hatiku yang semakin ngilu karena kenyataan pahit dari kejujuran kata-katamu.
“Intan cantik, tolong jangan menangis. Kamu cantik kok, kamu pasti bisa mendapatkan pria lain yang tidak brengsek seperti saya, yang sudah mengecewakan kamu berkali-kali. Ada orang lain yang lebih pantas untuk mendapatkan cinta yang tulus dari kamu. Ada orang yang lebih baik dari saya yang akan menuntun, juga mendampingi kamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi kamu. Tapi percayalah, bukan saya orangnya…”
“Tapi saya cuma mau kamu, Ko” ujarku lirih.
Berhari-hari kemudian aku masih menangis setiap hari. Menghabiskan persediaan tissue yang seharusnya bisa untuk dua bulan hanya dalam waktu seminggu. Dengan kata-katamu aku kemudian sadar lalu memutuskan untuk move on. Susah sekali untuk move on, bahkan sebenarnya aku tak ingin. Sama persis seperti ucapanmu padaku tentang perasaanmu kepadanya.
Aku kemudian menghindarimu. Aku memang sudah tenang, tapi berusaha move on dari orang yang kamu temui setiap hari itu sama saja bunuh diri. Akan sangat sulit sekali berperang dengan batinku sendiri. Aku lalu membuang semua benda-benda yang berhubungan denganmu. Aku menghilang darimu dan pindah ke kota asalku, memulai kehidupan baru disana.
Beberapa tahun kemudian, aku akhirnya menikah dengan orang yang memang mencintaiku. Aku kemudian sadar, bahwa jodoh tidak bisa dipaksakan. Jodoh diatur oleh Tuhan, dan percayalah bahwa Tuhan pasti tahu yang terbaik untuk kita. Aku percaya itu, karena kini aku merasa begitu bahagia memiliki dia.
Beberapa minggu yang lalu, kamu mengirim e-mail padaku. Ya, memang e-mailku masih sama. Aku lupa mengubahnya dan lupa kamu ternyata mencatatnya. Kamu mengundangku untuk hadir di café barumu. Kamu mengundangku sebagai teman lama. Dan aku memutuskan untuk memenuhi undanganmu. Aku juga tergelitik untuk tahu kabarmu kini.
Aku telah tiba dan aku melihat sosok itu. Ia kemudian menoleh dan menangkap padangan mataku. Dia tersenyum lalu berjalan padaku. Posturnya masih sama kurus jangkung, tapi dandanannya menjadi lebih rapi sekarang. Potongan rambutnya juga berubah dan sekarang ia memakai parfum. Perubahan besar!
Ia tersenyum padaku, lalu berkata “Hai”
“Hai, Ko”

0 komentar:

Posting Komentar