Aku bertemu kamu ketika aku masuk
klub drama. Ketika itu Kita masih sama-sama siswa baru sekolah menengah atas. Kamu
memang tampan dan banyak cewek-cewek yang menyukaimu, termasuk aku. Tapi aku
tak seperti cewek-cewek itu yang berteriak-teriak histeris ketika kamu lewat,
atau melakukan hal-hal lebay lainnya. Aku terlalu menjunjung harga diriku.
Waktu itu ada pementasan sekolah
ketika akhirnya kamu terpilih menjadi Romeo dan aku Juliet-nya. Kalau begini
rasanya aku ingin berteriak histeris seperti cewek-cewek itu. Tapi tidak, aku
malah berusaha biasa saja menghadapimu di panggung. Aku menjadi merasa menjadi
perempuan paling beruntung sedunia. Yah, setidaknya aku bisa membuat
cewek-cewek lain iri, karena aku bisa dengan mudah ngobrol denganmu sekarang.
Alasan aku menjadi lawan main
utamamu di drama ini, menjadi sangat ampuh. Kita bisa saling bertukar cerita
dan semakin dekat. Kamu ternyata adalah seseorang yang humoris dan punya banyak
mimpi. Kamu adalah tipe orang yang yakin
dan sungguh-sungguh dengan apa yang kamu pilih untuk dikerjakan sekarang. Kamu
begitu menyukai drama, sastra dan seni. Kamu bahkan punya satu buku yang penuh
dengan puisi karyamu. Kamu juga suka menciptakan lagu.
Kita sering hang out bersama. Bahkan kamu sering menjemput ke kelasku untuk
mengajakku makan siang. Begitu nyamankah kamu berada di dekatku? Tiba-tiba aku
jadi minder sendiri dengan sikapmu yang seperti ini. Aku hanya perempuan biasa,
tidak keren, tidak punya barang-barang branded,
tidak pergi ke salon tiap minggunya dan juga tidak punya kulit putih mulus
seperti yang lain.
Aku hanya perempuan yang punya
kulit sawo matang. Aku hanya punya gadget
jadul. Aku juga hanya naik angkot berangkat dan pulang sekolah. Aku hanya yang
seperti ini.
“Kok kamu bilang gitu sih? Aku tuh
nggak ngeliat kamu dari sisi itunya. Aku tuh nyaman aja sama kamu. Soalnya,
kamu nggak ngikutin aku kemana-mana. Nggak teriak-teriak nggak jelas ketika
ketemu aku. Kamu tuh normal–biasa aja–makanya aku milih kamu jadi sahabatku”
katamu menenangkanku.
Aku lega kamu bilang seperti itu.
Aku lega kamu tak memperhitungkan kekuranganku, tapi malah menyukainya. Tapi,
satu hal yang belum kamu tahu, aku juga menyukaimu, seperti cewek-cewek yang
kamu sebutkan itu. Dan aku cuma jadi ‘sahabat’ mu? Aku agak sedih ketika kamu
mengatakannya.
Ya, memang tidak seharusnya aku
mengharapkan sesuatu yang lebih padamu. Bisa dekat dan dianggap sebagai
‘sahabat’ aja itu seharusnya bisa menjadi sebuah keberuntungan.
Siang itu saat jam istirahat tak
seperti biasanya kamu tidak menjemputku. Akhirnya aku berinisiatif menuju
kelasmu. Aku melihatmu disana, berdiri di depan seorang cewek yang sedang menundukkan kepalanya dan
menyodorkan sebuah kertas – sebuah surat .
Wajahmu terlihat sangat marah dan
terganggu.
“Aku tidak suka padamu. Berhenti
mengikutiku dan melakukan hal bodoh. Kamu hanya menganggu” katamu sambil
menepis tangan cewek itu, lalu pergi keluar kelas.
Aku bisa mendengar cewek itu
menangis dan teman-temannya mengerebutinya mencoba menenangkan. Tidak hanya
itu, aku juga mendengar bisik-bisik yang membicarakan tentangmu. Aku tahu semua
orang kini memandangmu negatif. Tapi kamu seperti tak peduli.
Aku lalu memutar kakiku dan
berjalan kembali ke kelasku. Aku jadi tak ingin bertemu denganmu. Ada rasa
takut yang menyelimutiku. Bagaimana jika cewek tadi itu aku? Bagaimana jika
kamu akhirnya tahu bahwa aku menyukaimu? Bagaimana jika akhirnya aku
menyatakannya di depanmu? Apa kamu juga akan bersikap seperti itu padaku?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar begitu saja di otakku.
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar