Pages

Kamis, 10 Januari 2013

Hari ke-7 : Jangan Pergi (1)



Aku bertemu kamu ketika aku masuk klub drama. Ketika itu Kita masih sama-sama siswa baru sekolah menengah atas. Kamu memang tampan dan banyak cewek-cewek yang menyukaimu, termasuk aku. Tapi aku tak seperti cewek-cewek itu yang berteriak-teriak histeris ketika kamu lewat, atau melakukan hal-hal lebay lainnya. Aku terlalu menjunjung harga diriku.
Waktu itu ada pementasan sekolah ketika akhirnya kamu terpilih menjadi Romeo dan aku Juliet-nya. Kalau begini rasanya aku ingin berteriak histeris seperti cewek-cewek itu. Tapi tidak, aku malah berusaha biasa saja menghadapimu di panggung. Aku menjadi merasa menjadi perempuan paling beruntung sedunia. Yah, setidaknya aku bisa membuat cewek-cewek lain iri, karena aku bisa dengan mudah ngobrol denganmu sekarang.

Alasan aku menjadi lawan main utamamu di drama ini, menjadi sangat ampuh. Kita bisa saling bertukar cerita dan semakin dekat. Kamu ternyata adalah seseorang yang humoris dan punya banyak mimpi. Kamu  adalah tipe orang yang yakin dan sungguh-sungguh dengan apa yang kamu pilih untuk dikerjakan sekarang. Kamu begitu menyukai drama, sastra dan seni. Kamu bahkan punya satu buku yang penuh dengan puisi karyamu. Kamu juga suka menciptakan lagu.
Kita sering hang out bersama. Bahkan kamu sering menjemput ke kelasku untuk mengajakku makan siang. Begitu nyamankah kamu berada di dekatku? Tiba-tiba aku jadi minder sendiri dengan sikapmu yang seperti ini. Aku hanya perempuan biasa, tidak keren, tidak punya barang-barang branded, tidak pergi ke salon tiap minggunya dan juga tidak punya kulit putih mulus seperti yang lain.
Aku hanya perempuan yang punya kulit sawo matang. Aku hanya punya gadget jadul. Aku juga hanya naik angkot berangkat dan pulang sekolah. Aku hanya yang seperti ini.
“Kok kamu bilang gitu sih? Aku tuh nggak ngeliat kamu dari sisi itunya. Aku tuh nyaman aja sama kamu. Soalnya, kamu nggak ngikutin aku kemana-mana. Nggak teriak-teriak nggak jelas ketika ketemu aku. Kamu tuh normal–biasa aja–makanya aku milih kamu jadi sahabatku” katamu menenangkanku.
Aku lega kamu bilang seperti itu. Aku lega kamu tak memperhitungkan kekuranganku, tapi malah menyukainya. Tapi, satu hal yang belum kamu tahu, aku juga menyukaimu, seperti cewek-cewek yang kamu sebutkan itu. Dan aku cuma jadi ‘sahabat’ mu? Aku agak sedih ketika kamu mengatakannya.
Ya, memang tidak seharusnya aku mengharapkan sesuatu yang lebih padamu. Bisa dekat dan dianggap sebagai ‘sahabat’ aja itu seharusnya bisa menjadi sebuah keberuntungan.
Siang itu saat jam istirahat tak seperti biasanya kamu tidak menjemputku. Akhirnya aku berinisiatif menuju kelasmu. Aku melihatmu disana, berdiri di depan seorang cewek  yang sedang menundukkan kepalanya dan menyodorkan sebuah kertas – sebuah surat .
Wajahmu terlihat sangat marah dan terganggu.
“Aku tidak suka padamu. Berhenti mengikutiku dan melakukan hal bodoh. Kamu hanya menganggu” katamu sambil menepis tangan cewek itu, lalu pergi keluar kelas.
Aku bisa mendengar cewek itu menangis dan teman-temannya mengerebutinya mencoba menenangkan. Tidak hanya itu, aku juga mendengar bisik-bisik yang membicarakan tentangmu. Aku tahu semua orang kini memandangmu negatif. Tapi kamu seperti tak peduli.
Aku lalu memutar kakiku dan berjalan kembali ke kelasku. Aku jadi tak ingin bertemu denganmu. Ada rasa takut yang menyelimutiku. Bagaimana jika cewek tadi itu aku? Bagaimana jika kamu akhirnya tahu bahwa aku menyukaimu? Bagaimana jika akhirnya aku menyatakannya di depanmu? Apa kamu juga akan bersikap seperti itu padaku? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar begitu saja di otakku.

(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar