Pages

Minggu, 06 Januari 2013

Hari ke-3 : Lelaki dalam Elegi

Aku disini sekarang, masih menunggumu untuk menepati janji kita waktu itu. Tapi kamu tak datang, dan tak akan pernah datang. Ya, aku tahu persis itu. Aku memaafkanmu, aku hanya kembali ke memori saat kita saling tertawa bersama. Lalu bergandengan tangan di depan semua orang, seperti kamu ingin menunjukkan bahwa aku adalah milikmu.
Kita pergi kemana saja, kemana saja… Ada banyak hal yang telah kita lewati. Sedih, tangis, dan tawa, semuanya tercampur begitu saja didadaku. Membuncah, aku merasakan bahagia memenuhiku. Rasanya aku bernafas tidak dengan udara, tapi dengan bahagia. Dan barang-barang ini, satu per satu mereka menceritakan tentang kita ketika ku pegang. Bahkan semilir angin seolah membisikkan namamu.

Ingat tidak, saat kita pertama kali bertemu waktu itu? Tersenyum malu-malu tanpa pernah tahu bahwa hampir setengah hidupku akan ku habiskan denganmu. Ya, dengan anak laki-laki usil hitam kurus yang suka membuatku menangis waktu kita satu kelas di Sekolah Dasar.
Lalu waktu membawa kita bertemu di bangku SMA. Kamu yang ku temui setelahnya adalah kamu yang dewasa. Kamu yang selalu membuatmu tersenyum. Sampai suatu ketika aku sadar bahwa aku jatuh cinta padamu. Pada pria yang bekerja paruh waktu untuk membayar kuliahnya. Pada pria yang selalu ada punggungnya untuk ku pinjam saat aku menangis. Pada pria yang selalu bisa menenangkanku dan membuatku kembali tertawa. Pada pria yang mengajarkanku kebebasan.
Pada pria yang mengajarkan aku menulis kisah-kisah manis yang pernah kita lewati. Pada pria yang datang kerumah orang tuaku dan melamarku menjadi istrinya. Pada pria yang tak pernah mengkhianatiku. Pada pria yang sabar dan selalu ingin membelikanku barang-barang mahal dengan gajinya. Pada pria yang tidak memperbolehkanku mencuci jeans, selimut, dan bedcover yang berat. Pada pria yang setiap malam kupandang wajahnya saat ia terlelap.
Pada pria yang menemaniku di ruang persalinan saat aku melahirkan buah hati pertama kami. Pada pria yang menggendong dan bermain dengan putra pertama kami. Pada pria yang memberikan seluruh gajinya untukku. Aku tak pernah berhenti bersyukur pada Tuhan bahwa aku ditakdirkan untuk bertemu denganmu.
Hingga tadi pagi ku temukan kamu memelukku dengan begitu erat. Kamu mencium keningku sebelum berangkat bekerja. Kamu melambaikan tangan padaku sebelum melaju ke arah tempat kerja. Aku tersenyum padamu, lalu bersiap membuatkan makan siang kesukaanmu. Soto buatanku adalah yang terbaik, katamu. Aku tersenyum geli saat kamu mengatakannya.
Siang itu aku sedang menunggumu pulang. Tapi kemudian ponselku berdering. Suara diseberang membuatku sangat cemas padamu. Aku buru-buru pergi menemuimu. Sampai disana, aku melihatmu sedang tertidur pulas. Tenang sekali, hingga aku tak ingin membangunkanmu. Aku membiarkan tasku jatuh dari lenganku.
Aku mendekat padamu lalu tersenyum. Ku pegang tanganmu, tapi tak seperti biasanya, kamu seperti membeku. “Apa kamu kedinginan, sayangku?” ujarku. Aku membenarkan selimutmu, lalu meminta selimut tambahan untukmu. “Apa kamu masih merasa kedinginan, manisku?” tapi kamu sedikitpun tak menjawabku. Matamu terkatup begitu rapat pula bibirmu.
“Sebentar ya, akan ku belikan minuman hangat untukmu” ujarku. Aku lalu kembali mengambil tasku dan keluar ruangan. Aku menutup pintu kamar itu. Diluar beberapa teman dan keluarga mengerubutiku dan bertanya, “Apa kamu tidak apa-apa?”
Aku tidak ingin menangis. Tapi air mataku jatuh begitu saja, semua yang kulihat menjadi buram. Aku menangis, entah air mataku keluar begitu saja. Aku melihatmu meninggalkan rumah kita, putra kita, kenangan kita, dan cinta kita menuju keabadian yang sesungguhnya. Aku sadar, jika hari itu adalah hari terakhir aku dapat melihat ragamu.
Sayangku, aku sekarang disini di sudut pantai yang paling kamu sukai. Kamu berjanji akan mengajakku setiap tahun saat ulang tahunku. Aku masih menunggumu datang. Aku akan bersabar dan tak akan marah padamu.
Sayangku, rambutku kini telah memutih, wajahku keriput, dan kulitku bergelambir dimana-mana, jalanku juga sudah tak setegap dahulu, mataku juga kini rabun karena termakan usia. Semua dariku telah berubah. Tapi sayangku, satu hal tak akan pernah berubah dariku….
Mencintaimu.

0 komentar:

Posting Komentar