Pages

Kamis, 24 Januari 2013

Hari ke 20 : Menikah



Beberapa hari ini aku dihantui oleh perasaan menikah. Bukannya merasa senang, tapi malah takut. Bagaimana kehidupan setelah menikah. Akankah sama seperti waktu pacaran dulu? Aku tidak mengatakan padamu, karena aku takut kamu mengkhawatirkanku.
            Aku juga tidak tahu masa depan kita. Akankah kita terus bersama dan …. Menikah? Ahhh, perasaan ini terus menghantuiku. Aku takut tentang kehidupan setelah menikah, tanggung jawabku setelah mempunyai anak lalu ini itu dengan mertua, tetangga, denganmu dan dengan keluargaku sendiri.

            Kata orang, seseorang akan berubah ketika menikah. Akan tahu belangnya kalau akhirnya tinggal serumah. Begitukah? Benarkah? Pertanyaan itu terus menghantuiku, tak ada habisnya. Tak pernah selesai. Apalagi kalau aku sudah melihat kakak-kakakku yang sedang mengurus anak juga suaminya.  Belum lagi kalau sudah ada masalah dengan mertuanya. Ada yang mertuanya cerewet dan bertingkah laku aneh. Lalu bagaimana denganku sendiri? Aku tak mau membayangkan betapa ribetnya! Aaahh… Ini bisa membuatku gila.
            Aku seperti ketakutan sendiri membayangkan yang tidak-tidak. Tapi mau bagaimana lagi. Memang beginilah siklus hidup seseorang. Menjadi anak-anak, beranjak remaja, menjadi dewasa, dan… ya menikah, mempunyai seorang anak, cucu, cicit, dan menjadi eyang yang ditinggalkan sendirian akhirnya.
            Tapi, haruskah menikah? Haruskah beranjak dewasa? Haruskah aku menemukan orang lain diluar sana untuk menjadi imamku? Untuk mengambil tanggung jawab ayahku terhadapku? Haruskah?
            Kalau sudah begini aku akan menghindarimu tanpa alasan yang jelas. Aku memang tidak mengatakan apa-apa padamu. Aku takut kamu berpikir macam-macam. Iya, iya aku tahu kita masih pacaran. Nggak perlu mikir yang sejauh itu kan. Tapi kita kan sudah dewasa, kita sudah sama-sama mau lulus kuliah, kemudian mencari kerja. Lalu apa lagi? Pasti para orang tua kita menyuruh kita untuk menikah. Bukannya sudah tak ingin punya tanggung jawab terhadap kita. Tapi mereka bilang, memang sudah waktunya untuk kita menemukan jalan kita sendiri. Tidak lagi perlu dipapah.
            Bagaimana kalau aku tak ingin dewasa? Bagaimana kalau aku ingin tetap berada diumur yang sama. Aku tak ingin. Aku takut. Sungguh, aku masih belum bisa mengendalikan ketakutanku ini tentang pernikahan.
            Tapi bagaimapun aku mencoba untuk menyembunyikan ketakutanku. Kamu pasti tahu. Kamu mencoba menenangkanku.
            “Setiap orang pasti menikah, dan kamu sudah kupastikan akan menikah denganku” ucapmu sambil menggenggam tanganku.
            Aku menunduk, tak bisa berkata apa-apa.
            “Apa lagi yang kamu takutkan, sayangku? Tenang, apapun yang terjadi. Antara kamu dan aku, aku takkan pernah meninggalkanmu. Kamu punya aku dan aku punya kamu. Kita bakalan bareng-bareng hadapin semuanya. Aku janji”
            Aku masih diam. Tidak se-simpel itu! Aku bahkan masih tidak yakin kamu tidak akan berubah. Semua orang sudah meracuni pikiranku! Aku lelah. Mungkin harusnya aku tak terlalu memikirkan ini dulu. Fokus. Fokus kuliah dulu. Aaah…
            Menikah…. Apakah itu sebuah keharusan?

0 komentar:

Posting Komentar