Aku memandang kosong ke arah taman
saat kamu datang dan duduk disebelahku. Kamu pura-pura mendengarkan musik
dengan headphone merah kesayanganmu. Aku rikuh, tapi diam saja saat kamu
tiba-tiba bertanya, “Ada kuliah apa hari ini?” aku diam saja dan tersenyum. Tak
lama aku pergi duluan, tanpa menjawab pertanyaanmu. Aku tahu kamu dari fakultas
lain dan taman ini diantara fakultas kita.
Waktu itu, aku sedang membawa buku
fotokopian teman-teman sekelas saat kamu entah sengaja atau tidak menubrukku di
lorong fakultas. Kamu buru-buru membantuku membereskan buku-buku itu. Karena
alasan kasihan akhirnya kamu membantuku membawakan buku-buku itu ke kelasku,
agak jauh memang.
Waktu itu kamu bertanya jam berapa
aku akan keluar kelas. Ku jawab jam tiga lebih dua puluh menit. Dan ya, kamu
disitu dengan senyum lebar ada di depan kelasku persis ketika matakuliah ku
usai. Aku tersenyum malu, lalu kamu mengajakkku untuk duduk di taman pertama
kali kita bertemu.
Kita saling bercerita banyak hal.
Waktu itu, duduk kita saling berjauhan. Aku banyak tertawa, untuk ukuran orang
pendiam sepertiku. Kamu membuat hidup monochrome ku menjadi lebih berwarna. Kita
lalu bertukar jadwal kuliah, rutin bertemu di taman ini ketika jam-jam kosong
diantara kepadatan jadwal kuliah.
Hari Rabu adalah hari favorit kita
untuk bertemu. Banyak waktu luang yang memang tersedia waktu itu. Aku sering
menemanimu mengerjakan tugas. Katamu, melihatmu ada disampingmu sudah cukup
membuatmu bersemangat untuk segera menyelesaikan tugas. Ya, agar kita bisa
cepat-cepat mengajakku berkencan.
Kita begitu dekat, tapi kita juga
tak berpacaran. Aku tak ingin menanyakan ini, aku takut jika aku bertanya kamu
malah akan pergi dariku. Aku tak mau itu terjadi. Setahun setelah pertama kita bertemu
di taman kampus, kini waktunya kita lulus dan mencari pekerjaan. Tapi, percaya
atau tidak aku dan kamu tak pernah ingin berpisah. Seolah hati kami yang
berkomitmen seperti itu.
Sampai malam itu, kamu bersemangat
sekali mengajakku pergi. Kamu bilang, kamu harus dandan cantik hari ini. Saat
aku membuka pintu kulihat dandananmu sama rapinya. “Bagaimana? Sudah siap untuk
kejutan?” tanyamu sambil tersenyum lebar. Aku tersenyum saja, “Kejutan? Aku
lagi nggak ulang tahun. Kenapa ada kejutan?”. Kamu hanya tersenyum lalu
menggandeng tanganku.
Lama sekali di perjalanan, kamu
bercerita banyak hal. Tapi kamu lebih aneh dari biasanya, keringat dingin bisa
kulihat muncul di dahimu. Aku khawatir kamu sakit. Kukatakan, “Haruskah kita
pergi sekarang? Aku rasa kamu sedang tidak baik”. Tapi kamu berkeras ingin
pergi.
Sampai di tempat yang kita tuju
kamu menutup mataku dan menuntunku. Aku tak tahu apa yang sudah kamu persiapkan
untukku. Aku hanya berdebar-debar dan mengikuti perintahmu. Kita menaiki
tangga, lalu kamu menyuruhku untuk duduk. Kamu membuka penutup mataku lalu
duduk di depanku.
Indah… lampu-lampu temaram berwarna
kuning menyinari ditiap sudut. Kursi dan meja model kuno lalu lilin meja
menambah indah suasana, candle light dinner! Aku tersipu malu ketika mataku
sampai padamu.
“Ini…”
“Untukmu” katamu tersenyum gugup.
“Emh, ayo kita makan”
Setelah menghabiskan makananku aku
memandangmu lekat. Banyak sekali pertanyaan yang muncul dibenakku.
“Boleh aku bertanya padamu?” kamu
diam, maka aku melanjutkan saja. “Kenapa kita akhirnya seperti ini? Bukankah
kita… emh… kamu tahu kan kita nggak ada hubungan apa-apa”
“Aku… aku… apa aku salah kalau aku
menyukai…”
“Iya?”
“Mejanya”
“Mejanya”
“Hah?” Aku ingin sekali tertawa
tapi ku tahan, aku tak ingin kamu berfikir petanyaanku cuma main-main.
“Emh, bukan… anu… emhh” kamu
terlihat sangat gelisah.
“Kamu kenapa sih?”
“Eh, ada kembang api !” kamu
menunjuk ke arah belakangku. Otomatis aku menoleh. Tapi, tidak ku temukan
apa-apa. Aku lalu kembali menoleh ke arahmu, dan kusadari kamu memegang kotak
kecil berwarna merah itu di depanku. Disana ada sebuah cincin perak manis, ia
bersinar seolah bersemangat sekali untuk segera di pakai.
Aku terkejut, aku tak bisa berkata
apa-apa, aku hanya menutup mulut ku yang melongo melihatmu dan cincin itu bergantian.
“Kamu… mau menikah denganku?” ujarmu terbata tapi tegas.
Aku tersenyum dan mengangguk. “Ya…
Tapi… tapi… bukannya kita…”
“I love you, and that’s all I ever know. Aku yakin sama kamu. Walau
mungkin kita belum pacaran, hanya sekedar jalan bareng. Tapi, trust me aku yakin kamu mau dan bisa
dampingi aku sampai maut misahin kita”
Wajahku kemudian kurubah menjadi
murung, kamu gelagapan lalu berkata, “tapi, tapi kalau kamu masih belum yakin
denganku, kamu boleh mengatakan tidak. Mungkin hanya aku saja yang terlalu
yakin dan terburu-buru, sampai…”
Aku memotongnya dengan berkata,
“Aku tidak bisa menjadi istri yang sempurna untukmu, tapi aku akan berusaha
untuk membuatmu bahagia. Aku akan berusaha selalu ada disampingmu apapun yang
terjadi.”
Aku memandangmu dan binar matamu
sungguh memperlihatkan betapa leganya dirimu. Kamu memegang tanganku lalu
mendekat dan memelukku. Aku bisa merasakan jantungmu berdegub begitu kencang.
Sungguh tak kusangka kamu seberani ini untuk melamarku. Tapi, tahukah kamu, setelah
apa yang telah kita lalui selama ini, aku bahkan sebenarnya sudah yakin padamu
ketika kita pertama kali bertemu di taman kampus waktu itu :-)
0 komentar:
Posting Komentar