Pages

Sabtu, 05 Januari 2013

Hari ke-2 : Waktu Itu



Aku memandang kosong ke arah taman saat kamu datang dan duduk disebelahku. Kamu pura-pura mendengarkan musik dengan headphone merah kesayanganmu. Aku rikuh, tapi diam saja saat kamu tiba-tiba bertanya, “Ada kuliah apa hari ini?” aku diam saja dan tersenyum. Tak lama aku pergi duluan, tanpa menjawab pertanyaanmu. Aku tahu kamu dari fakultas lain dan taman ini diantara fakultas kita.

Waktu itu, aku sedang membawa buku fotokopian teman-teman sekelas saat kamu entah sengaja atau tidak menubrukku di lorong fakultas. Kamu buru-buru membantuku membereskan buku-buku itu. Karena alasan kasihan akhirnya kamu membantuku membawakan buku-buku itu ke kelasku, agak jauh memang.
Waktu itu kamu bertanya jam berapa aku akan keluar kelas. Ku jawab jam tiga lebih dua puluh menit. Dan ya, kamu disitu dengan senyum lebar ada di depan kelasku persis ketika matakuliah ku usai. Aku tersenyum malu, lalu kamu mengajakkku untuk duduk di taman pertama kali kita bertemu.
Kita saling bercerita banyak hal. Waktu itu, duduk kita saling berjauhan. Aku banyak tertawa, untuk ukuran orang pendiam sepertiku. Kamu membuat hidup monochrome ku menjadi lebih berwarna. Kita lalu bertukar jadwal kuliah, rutin bertemu di taman ini ketika jam-jam kosong diantara kepadatan jadwal kuliah.
Hari Rabu adalah hari favorit kita untuk bertemu. Banyak waktu luang yang memang tersedia waktu itu. Aku sering menemanimu mengerjakan tugas. Katamu, melihatmu ada disampingmu sudah cukup membuatmu bersemangat untuk segera menyelesaikan tugas. Ya, agar kita bisa cepat-cepat mengajakku berkencan.
Kita begitu dekat, tapi kita juga tak berpacaran. Aku tak ingin menanyakan ini, aku takut jika aku bertanya kamu malah akan pergi dariku. Aku tak mau itu terjadi. Setahun setelah pertama kita bertemu di taman kampus, kini waktunya kita lulus dan mencari pekerjaan. Tapi, percaya atau tidak aku dan kamu tak pernah ingin berpisah. Seolah hati kami yang berkomitmen seperti itu.
Sampai malam itu, kamu bersemangat sekali mengajakku pergi. Kamu bilang, kamu harus dandan cantik hari ini. Saat aku membuka pintu kulihat dandananmu sama rapinya. “Bagaimana? Sudah siap untuk kejutan?” tanyamu sambil tersenyum lebar. Aku tersenyum saja, “Kejutan? Aku lagi nggak ulang tahun. Kenapa ada kejutan?”. Kamu hanya tersenyum lalu menggandeng tanganku.
Lama sekali di perjalanan, kamu bercerita banyak hal. Tapi kamu lebih aneh dari biasanya, keringat dingin bisa kulihat muncul di dahimu. Aku khawatir kamu sakit. Kukatakan, “Haruskah kita pergi sekarang? Aku rasa kamu sedang tidak baik”. Tapi kamu berkeras ingin pergi.
Sampai di tempat yang kita tuju kamu menutup mataku dan menuntunku. Aku tak tahu apa yang sudah kamu persiapkan untukku. Aku hanya berdebar-debar dan mengikuti perintahmu. Kita menaiki tangga, lalu kamu menyuruhku untuk duduk. Kamu membuka penutup mataku lalu duduk di depanku.
Indah… lampu-lampu temaram berwarna kuning menyinari ditiap sudut. Kursi dan meja model kuno lalu lilin meja menambah indah suasana, candle light dinner! Aku tersipu malu ketika mataku sampai padamu.
“Ini…”
“Untukmu” katamu tersenyum gugup. “Emh, ayo kita makan”
Setelah menghabiskan makananku aku memandangmu lekat. Banyak sekali pertanyaan yang muncul dibenakku.
“Boleh aku bertanya padamu?” kamu diam, maka aku melanjutkan saja. “Kenapa kita akhirnya seperti ini? Bukankah kita… emh… kamu tahu kan kita nggak ada hubungan apa-apa”
“Aku… aku… apa aku salah kalau aku menyukai…”
“Iya?”
            “Mejanya”
“Hah?” Aku ingin sekali tertawa tapi ku tahan, aku tak ingin kamu berfikir petanyaanku cuma main-main.
“Emh, bukan… anu… emhh” kamu terlihat sangat gelisah.
“Kamu kenapa sih?”
“Eh, ada kembang api !” kamu menunjuk ke arah belakangku. Otomatis aku menoleh. Tapi, tidak ku temukan apa-apa. Aku lalu kembali menoleh ke arahmu, dan kusadari kamu memegang kotak kecil berwarna merah itu di depanku. Disana ada sebuah cincin perak manis, ia bersinar seolah bersemangat sekali untuk segera di pakai.
Aku terkejut, aku tak bisa berkata apa-apa, aku hanya menutup mulut ku yang melongo melihatmu dan cincin itu bergantian. “Kamu… mau menikah denganku?” ujarmu terbata tapi tegas.
Aku tersenyum dan mengangguk. “Ya… Tapi… tapi… bukannya kita…”
I love you, and that’s all I ever know. Aku yakin sama kamu. Walau mungkin kita belum pacaran, hanya sekedar jalan bareng. Tapi, trust me aku yakin kamu mau dan bisa dampingi aku sampai maut misahin kita”
Wajahku kemudian kurubah menjadi murung, kamu gelagapan lalu berkata, “tapi, tapi kalau kamu masih belum yakin denganku, kamu boleh mengatakan tidak. Mungkin hanya aku saja yang terlalu yakin dan terburu-buru, sampai…”
Aku memotongnya dengan berkata, “Aku tidak bisa menjadi istri yang sempurna untukmu, tapi aku akan berusaha untuk membuatmu bahagia. Aku akan berusaha selalu ada disampingmu apapun yang terjadi.”
Aku memandangmu dan binar matamu sungguh memperlihatkan betapa leganya dirimu. Kamu memegang tanganku lalu mendekat dan memelukku. Aku bisa merasakan jantungmu berdegub begitu kencang. Sungguh tak kusangka kamu seberani ini untuk melamarku. Tapi, tahukah kamu, setelah apa yang telah kita lalui selama ini, aku bahkan sebenarnya sudah yakin padamu ketika kita pertama kali bertemu di taman kampus waktu itu :-)

0 komentar:

Posting Komentar