Udara bulan January masih saja
terasa dingin untukku. Hey, alam kenapa kamu berubah menjadi begitu dingin
hingga membekukanku? Aku mengomel sendiri pada angin dan cuaca. Karena meraka
tidak membuatmu pulang lebih cepat. Bahkan lebih lama dari yang kuduga.
Tiap dua hari kamu menelfonku
disini, menanyakan kabarku dan kabar anak-anak kita. Bagaimana akhirnya si
kecil Kirana mulai belajar berjalan dan berkata-kata. Juga tentang bagaimana anak
pertama kita, Rino yang mulai beranjak remaja.
Kamu mengirimku uang tiap dua
minggu. Katamu, aku bisa membeli apapun dengan uang itu, untuk mencukupi
kebutuhanku juga anak-anak kita. Kamu begitu peduli dengan kami. Kamu juga
selalu mengatakan kamu mencintaiku setiap menelfon. Tapi, sayangnya kamu tak
berada disisiku.
Sudah semenjak bulan April tahun
lalu kamu meninggalkan kami, menuju negeri impianmu, Jerman, untuk keperluan
perkerjaan. Semenjak itu udara menjadi dingin. Tidak hangat lagi seperti dulu.
Setiap hari aku kedinginan karena terlalu mengkhawatirkanmu dan merindukanmu.
Tapi aku tak berani bertanya kapan kamu akan pulang. Aku takut kamu akan
terburu-buru untuk pulang dan meninggalkan mimpimu.
Aku selalu berusaha tertawa dan
bernada bahagia ketika kamu menelfonku. Aku menyembunyikan air mata dan tidak
menceritakan udara dingin yang selalu menyelimutiku padamu. Aku diam dan begitu
tenang saat menghadapimu. Aku tak ingin kamu tahu betapa aku ingin menemuimu.
Saat malam tiba, ketika anak-anak
kita sudah terlelap aku akan berdiri di balkon ini. Meresapi belaian angin, tak
sadar bahwa embun sudah menetes membasai pipiku. Aku menggigit bibirku sendiri,
berusaha menahan tangisku. Kalau sudah begitu aku akan menutup mata dan menyuruh
bayanganmu memelukku.
“Apa kamu begitu merindukanku, manisku?”
aku mendengar getaran suaramu. Sejenak aku kemudian mengangguk lalu melepaskan
tangisku yang sudah begitu lama ku pendam. Aku merasakan tanganmu lalu
menghapus air mataku.
Aku lalu memandangmu, aku kemudian
mengerjap tak percaya.
“Kamu datang?” aku meraba wajahmu,
masih tak percaya.
“Iya sayang, maaf sudah membuatmu
menunggu terlalu lama. Aku berjanji aku tidak akan meninggalkanmu sendirian
lagi” ujarmu lalu memelukku.
Tak ada kata-kata yang keluar dari
mulutku, aku hanya langsung meraihmu begitu erat seolah tak ingin melepasmu
lagi.
“Jangan pergi lagi, aku akan marah
jika kamu berani melakukannya lagi!”
“Tidak sayang, tidak akan pernah
lagi”
0 komentar:
Posting Komentar