Pages

Selasa, 29 Januari 2013

Hari ke 24 : Hal Paling Sakit

Hal yang paling sakit adalah tahu bahwa kita telah membuat kesalahan hingga membuat orang lain terluka. Begitu perih, walau sebenarnya kitalah pihak yang membuatnya perih. Tapi mau tidak mau, kita sudah tidak punya pilihan untuk mengelak. Hidup memang pilihan dan kita diharuskan memilih. Bukan begitu?
Lalu harusnya bagaimana? Kalau kita memang sudah diharuskan untuk memilih. Melukai diri sendiri atau melipahkan luka itu kepada orang lain. Sebenarnya bagaimana baiknya? Tidak bijak juga jika kita membiarkan diri kita terluka terus menerus karena ulah kita sendiri.

Seperti yang terjadi padamu dan aku. Kita berdua yang masih terjebak pada waktu dan kenyataan. Kita sudah lama sekali memutuskan untuk berpisah. Saling berjauhan, saling tak sapa, saling tak kenal. Pura-pura tak tahu satu sama lain. Kita sudah tenggelam dalam kehidupan baru dan masih saja pura-pura sibuk tanpa saling peduli.
Kita dulu begitu saling menginginkan. Kita sama-sama memiliki rasa yang begitu hebat. Tapi saking hebatnya sampai membuat kita berdua sering kali merasa sesak. Berkali-kali dan sudah tak terhitung kita berdua menahan sesak itu. Akhirnya kita memutuskan untuk berpisah agar bisa saling melepaskan. Agar kita sama-sama bisa bernafas lega, ya bernafas dengan bebas tanpa perlu takut merasa sesak lagi.
Aku memang yang pertama kali berusaha untuk mencari udara baru setelah kita berpisah. Aku bertemu banyak orang dan membuka duniaku sendiri. Aku tak tahu bagaimana kabarmu kini. Aku tak begitu peduli. Bagiku kamu sudah tak begitu berarti seperti dulu. Aku telah pelan-pelan bertekad menggerus rasa itu.
Setahun setelahnya ketika kita bertemu lagi setelah sekian lama. Aku akhirnya tahu bahwa kamu tak pernah berusaha melupakanku. Tidak sedikitpun. Aku tertawa sendiri. Bagaimana mungkin? Hey, ini sudah setahun. Tidakkah kamu ingin move on?
“Aku sudah berusaha dengan orang lain. Aku juga bertemu dan menghirup udara baru. Tapi tidak se-sejuk jika udaramu yang ku hirup” ujarmu.
Aku diam saja, walau aku tahu kamu masih berharap banyak dariku. Aku masih yakin bahwa kamu akan merubah pendirianmu. Bahwa kamu akan merubah keyakinanmu akanku. Bahwa kita berjodoh… seperti janji kita dulu.
Dua tahun kemudian tiba-tiba pesanmu masuk ke ponselku. Kamu sudah mengganti nomor ponselmu yang dulu mirip dengan punyaku. Waktu itu, nomor kita dulu cuma beda satu angka di belakang, punyamu 117 sedangkan punyaku 114. Aku bahkan membelinya sebelum akhirnya kenal dengamu.
Aku memang yang mengawalinya, mengganti nomor karena alasan tak ada sinyal dirumahku. Waktu itu kamu masih keukeh nggak akan mengganti nomer itu. Sedangkan aku, dengan mudahnya membuang kartu itu ke tempat sampah dan menggantinya dengan kartu dengan operator yang berbeda. Aku begitu yakin bahwa aku memang harus menghapusmu dan menggantinya dengan udara baru.
Dan ketika dua tahun itu datang padaku, aku menjadi yakin bahwa kamu memang sudah move on dariku. Makanya aku mau saja kembali dekat denganmu, hanya untuk alasan agar kita tetap menjadi teman akrab. Aku tidak biasa meninggalkan luka dan membuat dendam dengan seseorang sayangnya :-)
“Udara berwarna apa yang kamu hirup sekarang?” tanyamu.
“Tidak ada. Aku menghirup udaraku sendiri. Sudah lama aku memutuskan untuk tidak bersama seseorang”
“Kenapa? Memangnya kamu masih belum menemukan kesejukannya?”
“Iya. Sebenarnya sih aku sudah menemukannya, cuman dia yang memutuskan pergi”
“Kenapa begitu?”
“Mungkin dia yang belum menemukan kesejukan itu padaku. Tidak menjamin kan. Kadang kita sudah menemukan, tapi pasangan kita belum, itu bisa saja terjadi” ujarku enteng.
“Kamu nggak balik?” tiba-tiba kamu mengubah arah pembicaraan.
“Oh, nggak. Belum nih, masih ada yang harus kulakukan. Kenapa?”
“Oh, nggak. Maksudku, memangnya tidak bisakah kalau kita balikan seperti dulu?”
Aku gelagapan, aku bingung harus menjawab apa. Aku diam beberapa menit, kemudian,
“Aku yang belum bisa, maaf. Aku masih takut kita akan mengulang kesalahan yang sama. Kamu tahu kan maksudku?” kataku hati-hati.
Kamu kemudian membalasku dengan cepat, “Iya, aku tahu ketakutanmu itu. Tapi aku udah bener-bener berubah. Aku udah merubah semuanya setelah kita berpisah. Kita dulu masih sama-sama muda, masih terlalu labil sampai kita sesak. Mungkin kamu tidak akan percaya, tapi aku bisa buktiin ke kamu kalau aku udah berubah. Aku udah jadi pria dewasa”
“Tapi aku udah nggak punya sisa udara untuk kamu. Udah dua tahun, masa kamu belum bisa move on dari aku? Aku yakin kamu sebenarnya mampu”
Lama tak ada balasan darimu. Aku begitu cemas. Takut kamu terluka terlalu dalam. Aku perih sebenarnya mengatakan ini padamu. Tapi paling tidak, aku sudah berkata jujur padamu. Tentang rasaku yang memang sudah tidak untukmu.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan menghilang saja. Percuma aku menunggumu kalau kamu sudah tidak memilliki rasa itu. Aku juga tak tahu harus menunggu sampai kapan sampai kamu memilikinya lagi untukku. Sebaiknya, kita tidak lagi saling mengenal mulai detik ini”
Hatiku teriris perih, sungguh-sungguh perih. Rasanya begitu sedih harus membuat luka di hati orang lain. Maafkan aku. Sungguh, aku benar-benar tidak tega melihatmu seperti ini. Tapi, aku tak punya pilihan. Aku memang harus jujur dan tegas padamu.
“Aku harus lupain kamu, pergi dari kamu dan mencoba nggak bener-bener nggak kenal sama kamu. Sampai kapan aku harus nunggu kamu kalau kamu nggak sayang sama aku. Sampai kapan?”
“….” Aku terdiam. Aku tak membalas, aku hanya tertegun memikirkanmu. Sungguh, aku pernah berada diposisimu dan itu sungguh menyakitkan. Aku tahu benar itu. Tapi aku memang harus begini, tak bijak jika aku berbohong dan hanya kasihan padamu. Percuma, cintaku takkan lagi setulus dan semurni dulu. Aku tahu benar kamu sakit sekarang. Sesungguhnya ini juga hal tersakit untukku untuk melukaimu. Maafkan aku.

0 komentar:

Posting Komentar