Hal yang paling sakit adalah tahu
bahwa kita telah membuat kesalahan hingga membuat orang lain terluka. Begitu
perih, walau sebenarnya kitalah pihak yang membuatnya perih. Tapi mau tidak
mau, kita sudah tidak punya pilihan untuk mengelak. Hidup memang pilihan dan
kita diharuskan memilih. Bukan begitu?
Lalu harusnya bagaimana? Kalau kita
memang sudah diharuskan untuk memilih. Melukai diri sendiri atau melipahkan
luka itu kepada orang lain. Sebenarnya bagaimana baiknya? Tidak bijak juga jika
kita membiarkan diri kita terluka terus menerus karena ulah kita sendiri.
Seperti yang terjadi padamu dan
aku. Kita berdua yang masih terjebak pada waktu dan kenyataan. Kita sudah lama
sekali memutuskan untuk berpisah. Saling berjauhan, saling tak sapa, saling tak
kenal. Pura-pura tak tahu satu sama lain. Kita sudah tenggelam dalam kehidupan
baru dan masih saja pura-pura sibuk tanpa saling peduli.
Kita dulu begitu saling
menginginkan. Kita sama-sama memiliki rasa yang begitu hebat. Tapi saking
hebatnya sampai membuat kita berdua sering kali merasa sesak. Berkali-kali dan
sudah tak terhitung kita berdua menahan sesak itu. Akhirnya kita memutuskan
untuk berpisah agar bisa saling melepaskan. Agar kita sama-sama bisa bernafas
lega, ya bernafas dengan bebas tanpa perlu takut merasa sesak lagi.
Aku memang yang pertama kali berusaha
untuk mencari udara baru setelah kita berpisah. Aku bertemu banyak orang dan
membuka duniaku sendiri. Aku tak tahu bagaimana kabarmu kini. Aku tak begitu
peduli. Bagiku kamu sudah tak begitu berarti seperti dulu. Aku telah
pelan-pelan bertekad menggerus rasa itu.
Setahun setelahnya ketika kita
bertemu lagi setelah sekian lama. Aku akhirnya tahu bahwa kamu tak pernah
berusaha melupakanku. Tidak sedikitpun. Aku tertawa sendiri. Bagaimana mungkin?
Hey, ini sudah setahun. Tidakkah kamu ingin move
on?
“Aku sudah berusaha dengan orang
lain. Aku juga bertemu dan menghirup udara baru. Tapi tidak se-sejuk jika
udaramu yang ku hirup” ujarmu.
Aku diam saja, walau aku tahu kamu
masih berharap banyak dariku. Aku masih yakin bahwa kamu akan merubah
pendirianmu. Bahwa kamu akan merubah keyakinanmu akanku. Bahwa kita berjodoh…
seperti janji kita dulu.
Dua tahun kemudian tiba-tiba
pesanmu masuk ke ponselku. Kamu sudah mengganti nomor ponselmu yang dulu mirip
dengan punyaku. Waktu itu, nomor kita dulu cuma beda satu angka di belakang,
punyamu 117 sedangkan punyaku 114. Aku bahkan membelinya sebelum akhirnya kenal
dengamu.
Aku memang yang mengawalinya,
mengganti nomor karena alasan tak ada sinyal dirumahku. Waktu itu kamu masih
keukeh nggak akan mengganti nomer itu. Sedangkan aku, dengan mudahnya membuang
kartu itu ke tempat sampah dan menggantinya dengan kartu dengan operator yang
berbeda. Aku begitu yakin bahwa aku memang harus menghapusmu dan menggantinya
dengan udara baru.
Dan ketika dua tahun itu datang
padaku, aku menjadi yakin bahwa kamu memang sudah move on dariku. Makanya aku mau saja kembali dekat denganmu, hanya
untuk alasan agar kita tetap menjadi teman akrab. Aku tidak biasa meninggalkan
luka dan membuat dendam dengan seseorang sayangnya :-)
“Udara berwarna apa yang kamu hirup
sekarang?” tanyamu.
“Tidak ada. Aku menghirup udaraku
sendiri. Sudah lama aku memutuskan untuk tidak bersama seseorang”
“Kenapa? Memangnya kamu masih belum
menemukan kesejukannya?”
“Iya. Sebenarnya sih aku sudah
menemukannya, cuman dia yang memutuskan pergi”
“Kenapa begitu?”
“Mungkin dia yang belum menemukan
kesejukan itu padaku. Tidak menjamin kan. Kadang kita sudah menemukan, tapi
pasangan kita belum, itu bisa saja terjadi” ujarku enteng.
“Kamu nggak balik?” tiba-tiba kamu
mengubah arah pembicaraan.
“Oh, nggak. Belum nih, masih ada
yang harus kulakukan. Kenapa?”
“Oh, nggak. Maksudku, memangnya
tidak bisakah kalau kita balikan seperti dulu?”
Aku gelagapan, aku bingung harus
menjawab apa. Aku diam beberapa menit, kemudian,
“Aku yang belum bisa, maaf. Aku
masih takut kita akan mengulang kesalahan yang sama. Kamu tahu kan maksudku?”
kataku hati-hati.
Kamu kemudian membalasku dengan
cepat, “Iya, aku tahu ketakutanmu itu. Tapi aku udah bener-bener berubah. Aku
udah merubah semuanya setelah kita berpisah. Kita dulu masih sama-sama muda,
masih terlalu labil sampai kita sesak. Mungkin kamu tidak akan percaya, tapi
aku bisa buktiin ke kamu kalau aku udah berubah. Aku udah jadi pria dewasa”
“Tapi aku udah nggak punya sisa
udara untuk kamu. Udah dua tahun, masa kamu belum bisa move on dari aku? Aku yakin kamu sebenarnya mampu”
Lama tak ada balasan darimu. Aku
begitu cemas. Takut kamu terluka terlalu dalam. Aku perih sebenarnya mengatakan
ini padamu. Tapi paling tidak, aku sudah berkata jujur padamu. Tentang rasaku
yang memang sudah tidak untukmu.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan
menghilang saja. Percuma aku menunggumu kalau kamu sudah tidak memilliki rasa
itu. Aku juga tak tahu harus menunggu sampai kapan sampai kamu memilikinya lagi
untukku. Sebaiknya, kita tidak lagi saling mengenal mulai detik ini”
Hatiku teriris perih,
sungguh-sungguh perih. Rasanya begitu sedih harus membuat luka di hati orang
lain. Maafkan aku. Sungguh, aku benar-benar tidak tega melihatmu seperti ini.
Tapi, aku tak punya pilihan. Aku memang harus jujur dan tegas padamu.
“Aku harus lupain kamu, pergi dari
kamu dan mencoba nggak bener-bener nggak kenal sama kamu. Sampai kapan aku
harus nunggu kamu kalau kamu nggak sayang sama aku. Sampai kapan?”
“….” Aku terdiam. Aku tak membalas,
aku hanya tertegun memikirkanmu. Sungguh, aku pernah berada diposisimu dan itu
sungguh menyakitkan. Aku tahu benar itu. Tapi aku memang harus begini, tak
bijak jika aku berbohong dan hanya kasihan padamu. Percuma, cintaku takkan lagi
setulus dan semurni dulu. Aku tahu benar kamu sakit sekarang. Sesungguhnya ini
juga hal tersakit untukku untuk melukaimu. Maafkan aku.
0 komentar:
Posting Komentar