Aku menghindarimu hari berikutnya.
Sampai pada hari ke tiga, akhirnya kamu menemukanku di halte aku biasa menunggu
angkot.
“Aku anterin yuk” katamu.
Aku diam saja sambil menggeleng.
“Kamu kenapa sih? Menghindariku
tiga hari ini?” ujarmu dengan nada sedih.
“Nggak papa” aku membuang muka.
“Kamu ada masalah apa?” aku masih
diam dan menggelengkan kepala.
“Ya sudah kalau kamu tak mau bicara
padaku” nada bicaramu berbeda, sepertinya kamu mulai kesal denganku. Kamu
berdiri dan berjalan menuju motormu saat akhirnya aku berkata,
“Aku melihat ada cewek yang
menembakmu, di kelasmu”
Jalanmu terhenti. Aku tahu kamu
waktu itu menoleh dan memandangku.
“Daripada mengatakan dia hanya
menganggumu, kamu bisa katakan bahwa sudah ada orang yang kamu sukai kan? Kamu
seperti tidak menghargai perasaannya dan keberaniannya yang sudah menyatakan
padamu. Apalagi dia perempuan, kamu menolaknya terlalu kasar, di depan
teman-temannya” kataku memandangmu.
“Kalau menganggu ya mengganggu. Kenapa
harus dikatakan yang lain? Aku tidak suka dibuntuti tiap hari. Mereka juga
tidak bisa menghargai perasaanku, kenapa aku harus menghargai mereka?”
“…”
“Kamu bahkan menyalahkanku. Aku
pikir kamu orang yang paling bisa mengerti aku. Ini yang namanya sahabat?
Sudah. Aku pulang dulu” katamu melanjutkan langkah kakimu. Tapi aku langsung
berdiri dan berlari mendekat padamu.
“Sahabat? Dari awal aku tidak
pernah menganggap kamu sebagai seorang sahabat. Dari awal aku juga memiliki
perasaan yang sama dengan cewek itu. Ya, aku menyukaimu. Makanya aku mau dekat
dengamu” kerongkonganku seperti tercekat. Kamu diam saja dan masih
memunggungiku.
“Jadi, kamu sebenarnya sama saja
dengan cewek-cewek itu?” kamu tertawa mengejekku. Aku tidak menjawabmu. Kamu
lalu tetap melangkahkan kaki menuju motormu dan pergi meninggalkanku. Sedangkan
aku masih berdiri disini, menengakan diriku sendiri.
Tiba-tiba saja ada yang mengalir di
pipiku. Aku terisak, dadaku rasanya begitu sakit. Sakit sekali, sampai aku
tidak bisa bernafas rasanya…
Sudah seminggu kamu tak bicara
padaku. Kita memang masih bertemu di klub drama. Tapi kita saling diam. Sampai
akhirnya aku mengundurkan diri untuk memerankan Juliet. Pulang sekolah kamu
menungguku di depan kelas. Tak ada orang, hanya kita berdua.
“Kenapa kamu mengundurkan diri?”
“Nggak papa. Aku nggak ada waktu
aja untuk latihan”
“Jangan bohong! Karena aku kan?”
Aku tertawa kecil. “Sama sekali tak
ada hubungannya denganmu. Aku masuk dan keluar klub drama. Itu murni karena
diriku sendiri.”
Kamu memegang tanganku, tapi aku
menepisnya. Aku ingin sekali menangis, tapi ku tahan. “Jangan pergi” katamu.
Aku terdiam. Kamu lalu memegang tanganku lagi.
“Mungkin aku yang salah dengan
berkata terlalu kasar pada cewek itu ataupun padamu. Tapi setelah seminggu ini
akhirnya aku sadar, kalau aku juga menyukaimu. Alasan kenapa aku mendekatimu
dan menjadikanmu seorang sahabat”
Aku diam. Kamu juga diam. Kita
berdiri saling rikuh. Sedetik kemudian kamu memelukku dan tangisku pun pecah. “Jangan
pernah pergi dariku” bisikmu.
0 komentar:
Posting Komentar