Pages

Minggu, 20 Januari 2013

Hari ke 16 : Harusnya



Harusnya sampai kapan aku harus menunggumu? Kamu membiarkan kita berada pada abu-abu. Padahal jelas-jelas aku tahu hatimu berada dalam rasa warna-warni. Akupun yakin kalau kamu juga sebenernya tahu bahwa aku juga berada diantara warna-warna itu. Tapi kamu membiarkan aku bebas, sendiri dan kesepian. Kamu sama sekali tidak peduli dengan hatiku yang sudah berharap banyak padamu.

Harusnya bagaimana agar kita bisa bersama? Harusnya bagaimana agar kamu mengatakan kamu mencintaiku dan mengikatku? Kita sudah lama sekali berada di area warna ini. Tapi satu kali pun kamu tak pernah mengucapkannya padaku. Kalimat itu, atau ajakan itu. Apakah benar hanya yang seperti ini yang kamu inginkan dariku. Hanya kesenangan sesaat dan harapan-harapan semu yang tak selamanya.
Harusnya ada batas yang ku tentukan untuk menunggumu. Sampai kapan kita harus terus berpura-pura? Kita tidak membohongi siapa-siapa. Kita hanya akan membohongi diri kita sendiri. Berbohong pada hati masing-masing, bahwa ini semua akan selamanya. Karena sadar atau tidak, kita sedang membangun harapan satu sama lain. Apa kamu tidak lelah?
Aku yang kemudian sudah merasa begitu rapuh, kemudian perlahan-lahan ingin bangkit. Memulai kehidupan baru tanpamu, keputusan yang sulit dan berat memang. Tapi, aku akan berusaha. Aku tak ingin terus-terusan merasa abu-abu. Kita sudah terlalu lama berda di warna itu. Aku tuh mau yang jelas-jelas aja, merah kah atau putih atau hitam? Sayangnya, kamu sebaliknya. Kamu sudah tertelan oleh satu warna itu, hanya abu-abu saja.
Aku menjauhimu. Aku menghilang darimu. Aku tak berusaha menemuimu lagi. Aku tak berkata apa-apa atas alasanku menghindarimu. Aku seolah hanya menghilang tanpa alasan yang jelas. Tentu saja kamu tak marah, untungnya kamu sadar akan posisimu dan bisa memainkan peranmu dalam hubungan serba abu-abu ini.
Seminggu, dua minggu, tiga minggu, sebulan, tiga bulan aku bisa melewatinya tanpamu. Sedikitpun aku tidak berusaha membalas smsmu ataupun menjawab telfon-telfonmu. Aku bahkan memblokirmu di jejaring sosial. Aku benar-benar sudah bertekad untuk berhenti. Semoga kamu tidak kecewa dan mencoba untuk juga berhenti untukku.
Rasanya memang sakit dan perih. Aku selalu ingin menghubungimu, tapi benar-benar ku tahan. Rasanya hampa, gelap dan kesepian. Padahal seharusnya, ketika batas waktu itu telah usai, aku bisa perlahan-lahan melepasmu. Harusnya aku harus bisa mencoba bertahan dan membunuh kesepianku sendiri. Harusnya aku bisa menunggu dengan sabar pangeran berkudaku sendiri. Harusnya aku tak perlu lagi mencoba kembali padamu. Padahal sudah jelas kamu tak ingin mengikatku. Hanya bermain-main saja, hanya ingin sementara saja.
Dan lagi, harusnya kamu tidak perlu menanggapiku ketika akhirnya aku berusaha kembali. Harusnya kamu harus mempertahankan pendirianmu. Harusnya, kamu berhenti bersikap seolah-olah memberi harapan padaku lagi, lagi dan lagi. Harusnya pula, aku berhenti mencoba berharap padamu lagi, lagi dan lagi. Harusnya kita berdua tak saling percaya bahwa kita berjodoh, dan mencoba tetap memegang janji kita, bahwa kita akan menikah kelak.
Tapi yang ada, semakin aku berusaha menjauhimu. Ataupun kamu yang berusaha menjauhiku. Kita akan selalu bertemu lagi, kita akan selalu begini lagi. Kita hanya akan mengulang cerita yang sama. Kita akan terus seperti ini, lagi... lagi... dan lagi…
Bagaimana jika harusnya kita bersama saja, kita saling mengikat saja? Harusnya kita tak perlu lagi mencoba saling menjauh. Harusnya kita berhenti untuk berpura-pura. Harusnya kita saling ungkapkan saja secara jujur tentang hati kita lagi… lagi… dan lagi… Agar tak akan ada lagi ragu dan abu-abu yang menghantui kita.

0 komentar:

Posting Komentar