Harusnya sampai kapan aku harus
menunggumu? Kamu membiarkan kita berada pada abu-abu. Padahal jelas-jelas aku
tahu hatimu berada dalam rasa warna-warni. Akupun yakin kalau kamu juga
sebenernya tahu bahwa aku juga berada diantara warna-warna itu. Tapi kamu
membiarkan aku bebas, sendiri dan kesepian. Kamu sama sekali tidak peduli
dengan hatiku yang sudah berharap banyak padamu.
Harusnya bagaimana agar kita bisa
bersama? Harusnya bagaimana agar kamu mengatakan kamu mencintaiku dan mengikatku?
Kita sudah lama sekali berada di area warna ini. Tapi satu kali pun kamu tak
pernah mengucapkannya padaku. Kalimat itu, atau ajakan itu. Apakah benar hanya
yang seperti ini yang kamu inginkan dariku. Hanya kesenangan sesaat dan
harapan-harapan semu yang tak selamanya.
Harusnya ada batas yang ku tentukan
untuk menunggumu. Sampai kapan kita harus terus berpura-pura? Kita tidak
membohongi siapa-siapa. Kita hanya akan membohongi diri kita sendiri. Berbohong
pada hati masing-masing, bahwa ini semua akan selamanya. Karena sadar atau
tidak, kita sedang membangun harapan satu sama lain. Apa kamu tidak lelah?
Aku yang kemudian sudah merasa
begitu rapuh, kemudian perlahan-lahan ingin bangkit. Memulai kehidupan baru
tanpamu, keputusan yang sulit dan berat memang. Tapi, aku akan berusaha. Aku
tak ingin terus-terusan merasa abu-abu. Kita sudah terlalu lama berda di warna
itu. Aku tuh mau yang jelas-jelas aja, merah kah atau putih atau hitam?
Sayangnya, kamu sebaliknya. Kamu sudah tertelan oleh satu warna itu, hanya
abu-abu saja.
Aku menjauhimu. Aku menghilang
darimu. Aku tak berusaha menemuimu lagi. Aku tak berkata apa-apa atas alasanku
menghindarimu. Aku seolah hanya menghilang tanpa alasan yang jelas. Tentu saja
kamu tak marah, untungnya kamu sadar akan posisimu dan bisa memainkan peranmu
dalam hubungan serba abu-abu ini.
Seminggu, dua minggu, tiga minggu,
sebulan, tiga bulan aku bisa melewatinya tanpamu. Sedikitpun aku tidak berusaha
membalas smsmu ataupun menjawab telfon-telfonmu. Aku bahkan memblokirmu di
jejaring sosial. Aku benar-benar sudah bertekad untuk berhenti. Semoga kamu
tidak kecewa dan mencoba untuk juga berhenti untukku.
Rasanya memang sakit dan perih. Aku
selalu ingin menghubungimu, tapi benar-benar ku tahan. Rasanya hampa, gelap dan
kesepian. Padahal seharusnya, ketika batas waktu itu telah usai, aku bisa
perlahan-lahan melepasmu. Harusnya aku harus bisa mencoba bertahan dan membunuh
kesepianku sendiri. Harusnya aku bisa menunggu dengan sabar pangeran berkudaku
sendiri. Harusnya aku tak perlu lagi mencoba kembali padamu. Padahal sudah
jelas kamu tak ingin mengikatku. Hanya bermain-main saja, hanya ingin sementara
saja.
Dan lagi, harusnya kamu tidak perlu
menanggapiku ketika akhirnya aku berusaha kembali. Harusnya kamu harus
mempertahankan pendirianmu. Harusnya, kamu berhenti bersikap seolah-olah
memberi harapan padaku lagi, lagi dan lagi. Harusnya pula, aku berhenti mencoba
berharap padamu lagi, lagi dan lagi. Harusnya kita berdua tak saling percaya bahwa
kita berjodoh, dan mencoba tetap memegang janji kita, bahwa kita akan menikah
kelak.
Tapi yang ada, semakin aku berusaha
menjauhimu. Ataupun kamu yang berusaha menjauhiku. Kita akan selalu bertemu
lagi, kita akan selalu begini lagi. Kita hanya akan mengulang cerita yang sama.
Kita akan terus seperti ini, lagi... lagi... dan lagi…
Bagaimana jika harusnya kita
bersama saja, kita saling mengikat saja? Harusnya kita tak perlu lagi mencoba
saling menjauh. Harusnya kita berhenti untuk berpura-pura. Harusnya kita saling
ungkapkan saja secara jujur tentang hati kita lagi… lagi… dan lagi… Agar tak
akan ada lagi ragu dan abu-abu yang menghantui kita.
0 komentar:
Posting Komentar