Pages

Rabu, 23 Januari 2013

Hari ke 18 : Aku Pernah Mencintai Lelaki Ini


        Kita saling rikuh ketika kita akhirnya bertemu lagi. Aku sedikitpun tak berani memandangmu. Kita dulu punya kisah, kisah yang orang tak pernah tahu dan mengerti. Kisah yang rumit, tapi mampu membuatku merasa berbunga-bunga sampai sekarang ketika aku akhirnya bertemu lagi denganmu.

            Aku tidak tahu pastinya kenapa dulu aku jatuh cinta kepadamu. Awalnya dulu aku hanya kagum padamu karena permainan gitarmu. Kamu juga membuka diri padaku. Kamu selalu ada dan hari-hari berikutnya hanyalah tentang aku dan kamu. Kita menghabiskan waktu dengan petikan gitarmu. Kita juga menciptakan lagu-lagu itu.


            Di masa mudaku dulu aku banyak menghabiskannya denganmu. Kita berkelana dan tak memperdulikan lagi waktu. Yang ada hanyalah kau dan aku, lalu kebebasan dan tawa. Kita bernyanyi-nyanyi sambil menunggu rembulan datang. Dan untuk pertama kalinya aku merayakan ulang tahun ditaman kota denganmu.

            Waktu itu hujan ketika aku memutuskan akan pulang setelah acara teatrikal dan pembacaan puisi yang rutin dilakukan setiap bulan oleh komunitas sastra kota kita. Kamu seperti biasa menenteng gitarmu dan aku memegang lilin kecil. Aku mendekatimu dan berkata “Bisakah nyanyikan satu lagu ulang tahun untukku?”

            Kamu lalu tersenyum, “Sedang ulang tahun ya?”

            Sekarang ganti aku yang tersenyum. Aku mengangguk, lalu petikan gitarmu dan nyanyianmu juga nyanyian teman-teman yang lain membahana di taman kota kecil itu. Aku tersenyum dan menari-nari bersama mereka dibawah hujan. Aku memandangmu disela tarianku. Kamu tersenyum pula padaku begitu tulus. Tiba-tiba aku merasakan ada yang berdesir hebat di ulu hatiku.

            Kita kemudian berteduh di depan perpustakaan kota yang memang jadi satu dengan taman kota. Bukan hanya aku dan kamu tapi ada 5 orang teman lagi yang saling berdesakan dan menghimpit untuk berteduh pada latar perpustakaan. Hanya pada petak 1x3 juga dengan dua gitar lagi. Masih ada lilin yang tersisa. Lalu salah satu teman membeli beberapa kue-kue kecil seharga lima ratus rupiah-an. Lima buah pia dan makroni pedas, menumpuknya di tengah, disekeliling lilin itu. Katanya ini kue ulang tahunku. Aku hanya tertawa waktu itu.

            Itu adalah ulang tahun ke-16 ketika itu aku masih duduk dibangku kelas satu SMA. Ingatkan betapa labilnya aku waktu itu. Kita kemudian saling berpisah malam itu. Karena kau memutuskan untuk pulang karena ayahku sudah membentak-bentakku di telfon. Aku tertawa saja setelah menutup telfonnya. Lalu buru-buru berpamitan pulang pada kamu dan teman-teman yang lain.

            Itu adalah awal kisah kita. Kisah selanjutnya kita tetap sering bertemu, kamu mengajariku bermain gitar. Aku juga sering menuliskan puisi-puisi pada kertas kecil dibalik alumunium foil rokokmu. Ku selipkan pada kantong bagian depan tas hitam bulukmu. Setiap hari aku menuliskannya untukmu. Setiap hari kamu pura-pura tidak tahu dan tetap tak mempedulikanku.

            Kamu bersikap seolah kita hanya teman biasa. Sedangkan aku sudah jelas menunjukkan isi hatiku. Sampai pada suatu ketika, akhirnya aku menemukan orang lain. Aku meninggalkanmu yang sebenarnya sudah mulai yakin padaku. Tapi, bagiku kamu sudah terlambat. Lalu begitu saja kita diterbangkan oleh angin. Tak lagi saling bertemu seperti dulu. Aku dan kamu terpisah dengan dunia masing-masing.

            Apalagi setelah kita akhirnya berpindah kota. Aku memutuskan untuk menimba ilmu di kota itu. Dan kamu memutuskan untuk bekerja di kota lainnya. Kita tetap berusaha berdiri sendiri-sendiri, mencoba mengacuhkan, juga mencoba saling menemukan pengganti.

            Sampai suatu ketika, akhirnya kamu menyatakan bahwa kamu ternyata mencintaiku,

            “Aku menyayangi kamu. Sejak dulu” ujarmu memandangku. Aku terdiam dan hanya tersenyum, ada garis-garis shock pula yang menghiasi wajahku.

            “Hah? Serius?” aku tersenyum hampir tertawa, “Tiga tahun kak. Ini sudah tiga tahun yang lalu. Dan kakak masih menyimpan rasa itu?” aku penasaran.

            “Iya, aku masih. Maaf kalau aku baru menyatakannya”

            “Tapi… Tapi ini sudah terlambat, kak. Sudah terlalu terlambat. Aku sudah tidak memiliki rasa itu. Itu dulu. Dulu sekali. Dulu aku memang juga memiliki rasa itu. Apa kakak tidak merasakannya? Puisi-puisi itu? Setiap hari aku menuliskannya untukmu”

            “Iya aku tahu. Tapi aku kira kita adalah sahabat sehidup semati. Aku pikir, kalau kita punya rasa itu, itu hanya akan membuatku terpisah darimu” ujarmu polos, “Aku sama sekali tak ingin kamu pergi dariku” lirihmu.

            “Tapi nyatanya, aku pergi juga kan. Siapa suruh kakak tidak mempedulikanku waktu itu?”

            “Kamu pikir untuk apa aku menciptakan lagu ‘I need you woman’? Lagu itu untukmu.”

            “….” Aku terdiam. Aku tersenyum sendiri. Kenapa kita selalu berada pada waktu yang salah? Karena apapun yang terjadi sekarang, semuanya sudah terlambat. Benar-benar terlambat. Kamu pun sekarang sudah memiliki kekasih. Aku, walau aku masih sendiri, tapi aku juga tidak mungkin mencoba berselingkuh denganmu ataupun merebut kamu dari dia.

            Sekarang keadaannya sudah begini. Nasi telah menjadi bubur. Tak ada lagi yang bisa dirubah. Sama seperti akhirnya setelah itu, tepat setahun setelah kamu menyatakan kamu menyukaiku, kita bertemu lagi. Kita sama-sama rikuh. Bukan, bukan karena aku masih mencintaimu. Tapi lebih pada perasaan bahwa dulu aku pernah punya cerita denganmu. Dulu aku pernah mencintaimu dengan tulus. Ketika aku memandangmu, hatiku akan berkata “Dulu aku pernah mencintai lelaki ini”.

0 komentar:

Posting Komentar