Kita
saling rikuh ketika kita akhirnya bertemu lagi. Aku sedikitpun tak berani
memandangmu. Kita dulu punya kisah, kisah yang orang tak pernah tahu dan
mengerti. Kisah yang rumit, tapi mampu membuatku merasa berbunga-bunga sampai
sekarang ketika aku akhirnya bertemu lagi denganmu.
Aku tidak tahu pastinya kenapa dulu
aku jatuh cinta kepadamu. Awalnya dulu aku hanya kagum padamu karena permainan
gitarmu. Kamu juga membuka diri padaku. Kamu selalu ada dan hari-hari
berikutnya hanyalah tentang aku dan kamu. Kita menghabiskan waktu dengan
petikan gitarmu. Kita juga menciptakan lagu-lagu itu.
Di masa mudaku dulu aku banyak
menghabiskannya denganmu. Kita berkelana dan tak memperdulikan lagi waktu. Yang
ada hanyalah kau dan aku, lalu kebebasan dan tawa. Kita bernyanyi-nyanyi sambil
menunggu rembulan datang. Dan untuk pertama kalinya aku merayakan ulang tahun
ditaman kota denganmu.
Waktu itu hujan ketika aku
memutuskan akan pulang setelah acara teatrikal dan pembacaan puisi yang rutin
dilakukan setiap bulan oleh komunitas sastra kota kita. Kamu seperti biasa
menenteng gitarmu dan aku memegang lilin kecil. Aku mendekatimu dan berkata
“Bisakah nyanyikan satu lagu ulang tahun untukku?”
Kamu lalu tersenyum, “Sedang ulang
tahun ya?”
Sekarang ganti aku yang tersenyum.
Aku mengangguk, lalu petikan gitarmu dan nyanyianmu juga nyanyian teman-teman
yang lain membahana di taman kota kecil itu. Aku tersenyum dan menari-nari
bersama mereka dibawah hujan. Aku memandangmu disela tarianku. Kamu tersenyum
pula padaku begitu tulus. Tiba-tiba aku merasakan ada yang berdesir hebat di
ulu hatiku.
Kita kemudian berteduh di depan
perpustakaan kota yang memang jadi satu dengan taman kota. Bukan hanya aku dan
kamu tapi ada 5 orang teman lagi yang saling berdesakan dan menghimpit untuk
berteduh pada latar perpustakaan. Hanya pada petak 1x3 juga dengan dua gitar
lagi. Masih ada lilin yang tersisa. Lalu salah satu teman membeli beberapa kue-kue
kecil seharga lima ratus rupiah-an. Lima buah pia dan makroni pedas,
menumpuknya di tengah, disekeliling lilin itu. Katanya ini kue ulang tahunku.
Aku hanya tertawa waktu itu.
Itu adalah ulang tahun ke-16 ketika
itu aku masih duduk dibangku kelas satu SMA. Ingatkan betapa labilnya aku waktu
itu. Kita kemudian saling berpisah malam itu. Karena kau memutuskan untuk
pulang karena ayahku sudah membentak-bentakku di telfon. Aku tertawa saja
setelah menutup telfonnya. Lalu buru-buru berpamitan pulang pada kamu dan
teman-teman yang lain.
Itu adalah awal kisah kita. Kisah
selanjutnya kita tetap sering bertemu, kamu mengajariku bermain gitar. Aku juga
sering menuliskan puisi-puisi pada kertas kecil dibalik alumunium foil rokokmu.
Ku selipkan pada kantong bagian depan tas hitam bulukmu. Setiap hari aku menuliskannya
untukmu. Setiap hari kamu pura-pura tidak tahu dan tetap tak mempedulikanku.
Kamu bersikap seolah kita hanya
teman biasa. Sedangkan aku sudah jelas menunjukkan isi hatiku. Sampai pada
suatu ketika, akhirnya aku menemukan orang lain. Aku meninggalkanmu yang sebenarnya
sudah mulai yakin padaku. Tapi, bagiku kamu sudah terlambat. Lalu begitu saja
kita diterbangkan oleh angin. Tak lagi saling bertemu seperti dulu. Aku dan
kamu terpisah dengan dunia masing-masing.
Apalagi setelah kita akhirnya
berpindah kota. Aku memutuskan untuk menimba ilmu di kota itu. Dan kamu
memutuskan untuk bekerja di kota lainnya. Kita tetap berusaha berdiri
sendiri-sendiri, mencoba mengacuhkan, juga mencoba saling menemukan pengganti.
Sampai suatu ketika, akhirnya kamu
menyatakan bahwa kamu ternyata mencintaiku,
“Aku menyayangi kamu. Sejak dulu”
ujarmu memandangku. Aku terdiam dan hanya tersenyum, ada garis-garis shock pula yang menghiasi wajahku.
“Hah? Serius?” aku tersenyum hampir
tertawa, “Tiga tahun kak. Ini sudah tiga tahun yang lalu. Dan kakak masih
menyimpan rasa itu?” aku penasaran.
“Iya, aku masih. Maaf kalau aku baru
menyatakannya”
“Tapi… Tapi ini sudah terlambat,
kak. Sudah terlalu terlambat. Aku sudah tidak memiliki rasa itu. Itu dulu. Dulu
sekali. Dulu aku memang juga memiliki rasa itu. Apa kakak tidak merasakannya?
Puisi-puisi itu? Setiap hari aku menuliskannya untukmu”
“Iya aku tahu. Tapi aku kira kita
adalah sahabat sehidup semati. Aku pikir, kalau kita punya rasa itu, itu hanya
akan membuatku terpisah darimu” ujarmu polos, “Aku sama sekali tak ingin kamu
pergi dariku” lirihmu.
“Tapi nyatanya, aku pergi juga kan.
Siapa suruh kakak tidak mempedulikanku waktu itu?”
“Kamu pikir untuk apa aku
menciptakan lagu ‘I need you woman’?
Lagu itu untukmu.”
“….” Aku terdiam. Aku tersenyum
sendiri. Kenapa kita selalu berada pada waktu yang salah? Karena apapun yang
terjadi sekarang, semuanya sudah terlambat. Benar-benar terlambat. Kamu pun
sekarang sudah memiliki kekasih. Aku, walau aku masih sendiri, tapi aku juga
tidak mungkin mencoba berselingkuh denganmu ataupun merebut kamu dari dia.
Sekarang keadaannya sudah begini.
Nasi telah menjadi bubur. Tak ada lagi yang bisa dirubah. Sama seperti akhirnya
setelah itu, tepat setahun setelah kamu menyatakan kamu menyukaiku, kita
bertemu lagi. Kita sama-sama rikuh. Bukan, bukan karena aku masih mencintaimu.
Tapi lebih pada perasaan bahwa dulu aku pernah punya cerita denganmu. Dulu aku
pernah mencintaimu dengan tulus. Ketika aku memandangmu, hatiku akan berkata
“Dulu aku pernah mencintai lelaki ini”.
0 komentar:
Posting Komentar