Pages

Selasa, 15 Januari 2013

Hari ke-10 : Manisku


Aku mengelus fotomu, sayangku. Aku rindu padamu, begitu rindu seperti rindu udara untuk dihirup. Aku ingin tahu bagaimana kabarmu. Aku ingin memandang lagi wajahmu. Aku ingin mendengar lagi gelak tawamu. Kamu adalah anugrah terindah dari Tuhan yang pernah ku miliki. Bagaimana aku bisa memberitahumu bahwa kamu begitu berarti  untukku?

            Mungkin salahku atau memang begini takdir yang diberikan Tuhan kepada kita? Hanya diharuskan bertemu sesaat saja. Hatiku ngilu ketika akhirnya aku memandangmu untuk terakhir kalinya. Air mataku luruh begitu saja sesaat akhirnya aku menyadari kamu sudah tak ada lagin disisiku.

            Aku harus apa, manisku? Agar hidupku normal kembali, sama seperti sebelum aku memilikimu? Harus bagaimana lagi? Andai aku bisa mengulang waktu. Aku akan masih bisa merasakan baumu dan sentuhan-sentuhanmu. Aku akan berani merangkai mimpi-mimpi lagi tentangmu.

            Kamu masih butuh banyak belajar untuk bernafas. Kamu membutuhkanku, lebih dari yang lain. Aku tahu itu, walau kamu tak mengatakannya padaku. Dan aku senantiasa mencoba mengerti kamu, senantiasa selalu ada didekatmu ketika kamu membutuhkanku. Tak pernah sedikitpun aku berusaha untuk lari darimu. Aku menyambutmu begitu hangat saat kamu datang dalam hidupku.

            Tapi rasanya semua itu masih saja belum cukup untukku. Rasa bersalah masih menyelimutiku, penyesalan dan kerinduan yang mendalam akanmu tak bisa ku pungkiri terus menekanku hingga titik terlemahku. Aku tak berhenti menyalahkan diriku sendiri atas kepergianmu.

            Aku ingin memelukmu lagi, menemanimu tidur lagi, menemanimu bermain lagi, menyusuimu, menyuapimu makan, menggendongmu lagi dalam dekapanku, menciumimu, menggantikan popokmu, mencuci bajumu, membelikanmu mainan, memberikan seluruh kasih sayangku padamu, anakku.

            Tapi bahkan kamu telah meninggalkanku terlebih dahulu dengan menuju keabadian yang sesungguhnya. Aku memandangmu tak percaya waktu itu. Tubuhmu membeku, aku seperti gila rasanya. Padahal sakit di perutku masih terasa. Beberapa puluh jam yang lalu aku melahirkanmu. Sembilan bulan aku mengandungmu. Aku berusaha menjaga segalanya agar kamu tumbuh sehat. Agar kamu ketika lahir nanti kamu anak menjadi seseorang yang sempurna tanpa cacat. Semua ibu didunia pasti menginginkan itu.

            Aku tak peduli dengan berat badanku yang semakin hari semakin naik. Lemak ada dimana-mana. Berjalanpun sangat susah untukku, kakiku bengkak karena menahan berat badanku sekaligus berat badanmu. Tapi aku menjalaninya dengan bahagia. Aku banyak berbagi cerita denganmu. Kita mendengarkan music klasik bersama-sama. Karena aku menjalani itu semua demi engkau, putri kecilku.

            Hingga akhirnya kita tiba pada hari persalinan. Hari yang kita tunggu-tunggu, sayangku. Aku akan tahu bagaimana rupamu. Mirip denganku atau dengan ayahmu? Bagaimana bentuk rambutmu? Keriting sepertiku atau lurus seperti ayahmu? Bagaimana kulitmu? Sawo matang atau putih bersih? Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi otakku.

            Aku mengeluarkan seluruh tenagaku untukmu. Keringat dingin memenuhiku. Ada banyak orang yang mengerubutiku waktu itu. Untukmu. Ayahmu setia memegang tanganku dan terus memberiku semangat. Dan akhirnya, aku melihatmu ya aku melihatmu! Hal yang paling ingin aku lakukan. Kamu ditaruh di dadaku oleh suster setelah lahir dari rahimku. Aku tersenyum melihatmu. Aku tak pernah merasakan begitu bahagia, seperti ini.

            Tapi takdir berkata lain. Setelah kamu akhirnya keluar dari rahimku, kamu langsung diharuskan berada di inkubator. Dokter berkata kamu tidak baik-baik saja. Aku tak tahu apa yang terjadi padamu. Aku hanya terus berdoa setiap waktu agar kamu baik-baik saja.  Aku begitu cemas dengan keadaanmu.

            Sampai akhirnya aku harus merelakanmu pergi setelah tiga hari yang lalu aku melahirkanmu. Mengapa manisku? Mengapa kita lagi-lagi harus ditakdirkan untuk berada di dunia yang berbeda. Kenapa kamu tak berada disisiku saja? Menemani hari-hariku. Tumbuh dan berbakti padaku. Mengunjungiku ketika senja telah menguasaiku. Mengapa, sayangku?

            Aku mengusap air mataku dan memutuskan untuk menyimpan fotomu ditempat yang aku takkan melihatnya. Bukan, bukan untuk melupakanmu. Tapi aku hanya tak ingin terus menangis mengingatmu. Aku takut kamu akan menangis pula melihatku seperti ini. Aku ingin tersenyum agar kamu juga tersenyum disana.

            Karena kamu… akan selalu ada disini. Di lubuk hatiku yang paling dalam. Dimana tak seorangpun tahu dan mengerti. Hanya kita berdua… hanya kita saja.

0 komentar:

Posting Komentar