Kalau saja dulu aku akhirnya tak
memilihmu, pasti aku tidak akan merasa begitu beryukur pada Tuhan. Kalau saja
dulu aku mengikuti kata hatiku untuk pergi meninggalkanmu, mungkin hidupku tak
akan sebahagia ini. Kalau saja bukan kamu orangnya yang menjadi pendamping
hidupku sekarang, aku pasti akan sangat menyesal dan menyalahkan kehidupan.
Kita tidak pernah kenal secara
langsung. Kita tidak pernah bertemu pula sebelumnya. Tapi orang tua kita punya
janji masa muda untuk menikahkan anak mereka. Memang terlihat kuno dan jauh
berbeda dari kebudayaan modern, yang membebaskan anak-anak menemukan jodoh
mereka sendiri.
Kabur? Sepertinya sudah sangat
terlambat untuk melakukanya. Aku tidak bisa menjelaskan keadaannya secara
detail. Tapi, semua terasa sudah diatur dengan rapi. Dan ya, akhirnya aku hanya
bisa mempersiapkan diri dan tak mencoba untuk lari darimu. Lagipula, sekarang
yang aku pikirkan hanyalah kedua orang tuaku. Aku sama sekali tak ingin
mengecewakan mereka ketika aku akhirnya harus kabur meninggalkan semua ini. Tinggal
besok dan segalanya akan berubah.
Aku mempersiapkan diriku. Aku tak
peduli lagi dengan perkataan teman-temanku. Aku tak peduli lagi. Tiba-tiba
hatiku sesak dengan keberanian dan keyakinanku akanmu. Aku mencoba menyakinkan
diriku sendiri, bahwa kamu mampu untuk membuatku bahagia. Aku bertaruh dengan
hidupku sendiri.
Esoknya, aku melihatmu disana. Kamu
tampak gagah mengenakan pakaian adat itu. Setelah rangkaian upacara adat,
akhirnya kita duduk disini. Kamu menghadap ayahku dan aku ada disampingmu.
Tuhan, inilah saatnya. Inilah saatnya akhirnya aku mulai bertaruh dengan hidup.
Tanganmu terkait dengan tangan
ayahku. Setelah ayahku berkata-kata, kamu langsung menyahut menerima aku
sebagai tanggung jawabmu sekarang. Selesai semua mengatakan sah, aku tak bisa
menyembunyikan air mataku yang begitu saja keluar. Aku tidak tahu kenapa aku
menangis. Hanya ada perasaan yang menekanku disini, tepat di ulu hatiku. Tapi
aku tidak tahu itu apa.
Aku memandangmu, lalu kamu
menghapus air mataku. Kamu memegang tanganku dengan raut muka sedih. “Tolong
jangan menangis. Bisakah kamu berjanji?” katamu berbisik. Aku mengangguk dan
menghapus air mataku sendiri.
Kehidupan berikutnya berpindah pada
sebuah rumah besar yang sudah disiapkan oleh orang tua kita. Kita sama-sama
canggung, karena hanya akan ada kita berdua di rumah ini. Bahkan kita berdua
tak saling bicara, karena tidak tahu harus berkata apa lagi awalnya.
Tapi aku berusaha mengurusmu dengan
baik. Lama kelamaan canggung itu hilang, dan digantikan oleh rasa
berdebar-debar padamu. Aku sadar, aku telah jatuh cinta padamu. Aku merasakan
bahwa kamu selalu memenuhiku. Kamu begitu menghormatiku dan menghargaiku. Kamu
juga menyayangiku dengan tulus. Aku menjadi selalu ingin bertemu denganmu, lagi
dan lagi.
Aku selalu menunggumu pulang di
depan TV. Kamu biasanya pulang agak malam karena jalanan yang macet ataupun
karena ada kerja lembur di kantor. Kalau sudah begitu kamu selalu tak lupa
untuk menelfon untuk mengabariku. Kamu juga selalu bilang, untuk tidak menunggumu
di depan TV. Kamu lebih suka aku istirahat dan tidur duluan di kamar.
Tapi seringnya aku bandel, aku
tertidur di depan TV saat aku bertekad menunggumu pulang. Kamu lalu
menggendongku dan membaringkanku di tempat tidur, tak lupa kamu menyelimutiku.
Ada perasaan hangat dan menggebu-gebu yang selalu memelukku ketika aku
bersamamu.
Setiap berangkat kerja kamu selalu
berpesan agar tidak bekerja terlalu keras. Kamu juga melarangku mencuci jeans
yang berat. Kamu tidak pernah protes tentang masakanku yang cuman begini-begini
saja. Aku sadar betul aku tidak terlalu mahir dalam memasak. Tapi kamu tetap
memakannya, dan kamu selalu mengatakan enak.
Aku seringnya memasak makanan
instan, kamu juga tidak pernah protes tentang ini. Kamu malah berkata,
“Orang-orang barat tuh pinter ya, bikin yang instan-instan gini. Kamu kan jadi
nggak perlu capek-capek masak” Aku tersenyum malu kalau sudah begitu.
Kamu juga selalu membuatku tersipu
dengan surprice ulang tahun
kecil-kecilanku. Hanya kamu dan aku yang merayakannya. Tapi hatiku sungguh
berbunga-bunga dan bahagia. Aku tak pernah berhenti bersyukur, Tuhan telah
menjodohkanku denganmu.
Hingga kita setua inipun, kamu tak
pernah berusaha mengkhianatiku. Kamu begitu tulus padaku. Walau raga kita sudah
rapuh dan rambut kita telah memutih, kamu tak banyak berubah dimataku. Kamu
tetap kamu yang dulu. Kamu yang menatap mataku pertama kali pada pesta
pertunangan kita dulu. Lalu kamu yang terlihat gagah memakai pakaian adat
pengantin itu ketika memandangku. Aku masih melihatmu seperti dulu, ketika kita
sama-sama masih muda.
1 komentar:
Aaaah bagus, suka pemilihan kata-katanya
Btw, mau mengoreksi dikit aja, harusnya 'surprise' bukan 'sureprice' :)
Posting Komentar