Lilin temaram itu seperti
tersenyum, bukankah indah dilihat dari disudut mata? Bukankah begitu,
magentaku? Kita berdua terhanyut dalam dingin malam, menelisik kisah di ujung
gang. Melangkahkan kaki menuju arah yang tak ditentukan. Kau selalu begitu. Selalu
bisa membuatku bertanya-tanya tentang arti dari lakumu, dari caramu menembus
retinaku.
Kadang kita bermain-main
di sudut senja, tempat favorit kita. Menikmati bisikan ombak yang menyapu
kaki-kaki kita. Lalu angin yang menghempas wajah kita. Kita sama-sama terpesona
olehnya. Termenung saja tanpa kata yang terucap. Bukankah indah, magentaku?
Kau tahu benar aku
mempunyai rasa, rasa warna-warni yang selalu kutuangkan pada kertas rokok
silver mu. Dan kau tahu benar maknanya, walau hanya sebaris puisi yang
kutuliskan disana.
Kau selalu memberiku
kisah-kisah baru. Aku menikmati setiap saat yang kau bisikan dihari-hariku.
Rasa ini membutakanku. Kata orang, cinta adalah hal yang tak menyentuh wilayah
logika. Ah, dan itu terjadi padaku. Padaku yang diam-diam memperhatikanmu
disudut keramaian. Padaku yang selalu ingin mendengarkan lantunan petik
gitarmu. Padaku yang kagum pada caramu memperlakukanku. Dan padaku yang untuk
pertama kali, hanya ingin memberikan tak mengharap lebih dari ini.
Kita juga bersenandung dalam
tarian hujan. Waktu itu, kamu berjanji untuk membuatkan lagu ‘kita’. Iya, aku
membuatkan liriknya dari tetes embun pagi dan senja. Lalu kamu akan
merangkainya dengan nyanyian burung-burung kecil pagi hari dan alunan suara
ombak saat magenta terlihat di ufuk barat.
Aku bertanya-tanya pada
rembulan, lagu seperti apa yang akan kamu buatkan untukku? Apakah sejuk seperti
udara pagi kah ketika mendengarnya? Atau lembut seperti awan kapas yang sering
kita nikmati waktu senja? Belum sampai langit memberikan jawaban, tapi langit malah
seperti menutup anganku saat awan mendung menutupi rembulan.
Akhirnya aku terpaksa
mengakhiri berangan tentangmu. Aku lalu memejamkan mataku dan berharap kamu
datang dalm mimpiku malam ini. Harus. Aku tidak mau memberikan toleransi
sedikitpun untukmu. Karena, memikirkanmu sudah menyita setengah dari
aktivitasku. Maka, kamu harus bertanggungjawab dengan menemuiku, walau hanya
dalam mimpi.
Esoknya kamu membawa
gitar kesayanganmu. Kita bermain-main lagi di balkon rumahmu yang langsung
menghadap ke arah laut. Angin sedang tak terlalu kencang. Karena angin tak
kemana-mana, ia ingin bersama kita. Ingin menyejukkan hati dan mengukirkan
seutas senyum untukmu dan aku.
Aku memandangmu, lalu
denting gitar itu mulai menari-nari oleh jemarimu…
I
need you, woman
I
need you woman every night
Nada selanjutnya samar,
aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Tapi aku tahu isi lagu itu adalah
bahwa kamu membutuhkanku. Does it mean
me? Itu ‘the woman’ yang kamu maksud. Ah, nggak. Aku menggelengkan kepalaku
sendiri. Tak berani berharap banyak.
Kamu memang tak berkata
apa-apa. Makanya rasanya hanya aku yang merasa bingung dan deg-degan sendiri.
Aku membelakangimu, seolah aku menikmati pemandangan laut. Aku tersenyum
malu-malu, lagu itu… aku sungguh tak berani memikirkannya. Tapi, rasanya aku
mengerti bahwa memang untukku.
Tahukah kamu, aku sungguh
merasa bahagia bersamamu. Kita sama-sama punya mimpi, kita sama-sama tahu
tujuan hidup kita. Dan aku mengagumi itu. Kamu selalu saja mampu membuatku
terhanyut dan nyaman berada disisimu. Tiada
yang lain yang ku butuhkan, kau
memenuhiku. Puisi-puisi bahasa kalbu, retorika-retorika yang terlontar dan
pandang retina yang berucap.
Jangan pernah lepaskan
aku. Jangan pernah. Karena bahagia ini takkan pernah usai, jika kamu yang ada
disampingku.
2 komentar:
pengen ku tabok kamu zur, ini bikin orang galau aja kalo baca~ kebanyakan curhat ni haha :P
huakakakakak... situ yang galau kok saya yang disalahin :P haha
Posting Komentar