Pages

Selasa, 20 November 2012

Retinaku: Buramnya Hati



Malam ini kamu mengajakku pergi, setelah agak lama kamu sibuk dengan aktivitasmu, juga aku dengan aktivitasku. Kita tak pernah bertemu lagi setelah beberapa lama. Aku merindukanmu.
Aku mulai bertanya-tanya dan ketakutan sendiri dengan pertanyaan-pertanyaanku. Apakah saat kita bertemu, sikapmu akan berubah? Iya, aku tahu kita tidak terikat oleh ‘hubungan’. Justru itu aku semakin takut. Takut kamu tak sehangat sebelumnya. Takut impian yang mulai tumbuh kembali itu, layu lagi.
Aku berputar-putar dengan banyak pertanyaan. Bagaimana rasamu padaku? Bukankah kemarin kamu sempat memelukku dan berjanji akan melakukannya setiap hari, saat ku katakan aku sangat menyukai pelukanmu. Harum parfummu, lekuk lenganmu, dan bidangnya dadamu yang mampu menenangkanku.
Aku berdandan cantik hari ini. Aku memakai dress hijau favoritku. Tak lupa wedges pink, dan cardigan rajutan warna hijauku. Aku ingin tampil sempurna. Selama ini tak pernah kan kamu melihat sisiku yang ini? Aku tersenyum lebar di depan cerminku. Memoleskan lip-liquid warna favoritku, soft pink, berusaha menghilangkan semua keresahanku akanmu.
Aku hanya berdoa pada Tuhan, semoga semuanya baik-baik saja. Semoga ketakutan-ketakutanku musnah. Handphone ku bergetar, ada pesanmu disitu. Percaya atau tidak tanganku bergetar membukanya. Kamu bilang kamu sudah di depan kosku. Segera saja gugup menyergapku.
Tapi aku segera menepisnya, aku berlari keluar tak ingin membuatmu menunggu lama. Dan ya, aku melihatmu disana, diatas motor birumu, jam tangan hitam favoritmu, helm batman, baju kotak-kotak warna putih dengan garis-garis merah—favoritku. Kamu tersenyum menyambutku.
Setelah itu kamu mentraktirku makan dengan makanan favoritmu. Aku menurut saja, aku ingin membuatmu leluasa denganku. Lalu kita ke tempat favorit kita saat malam menjemput. Tempat dimana pemandangan indah kan menyapu mata kita, kerlap kerlip lampu kota dapat terlihat jelas disana. Matamu terpaku pada lampu-lampu itu. Aku tahu kamu menyukainya.
Kita berdua lalu duduk dibawah bintang yang bersinar. Lama ku pandang, raut wajahmu menjadi begitu dingin.
“Sebelum lebih jauh, ada yang ingin ku katakan padamu”. Aku mengalihkan pandanganku darimu. Tuhan, aku tahu apa yang akan dia katakan kini. Aku tak bersuara, aku diam saja seolah ingin tahu apa yang ingin ia katakan selanjutnya.
“Aku cuma menganggapmu tak lebih dari seorang adik perempuan”
Deg. Tiba-tiba sakit menyergapku. Disini. Ya tepat disini. Di ulu hatiku. Dan aku masih terdiam. Embunku mulai muncul, tapi aku masih bisa berakting di depanmu dengan tersenyum.
Kamu katakan, sikapmu selama ini hanya sebuah uji coba hati. Bukan perasaanmu yang sesungguhnya. Aku luar biasa bertambah sakit olehnya. Kamu katakan kamu tak ingin aku berubah, ingin tetap seperti ini. Kamu tak mengizinkanku untuk menjauh. Tapi kamu tak mau pula menerima perasaanku. Karena, kamu katakan, sampai saat ini hanya aku yang mampu membuatmu merasa begitu nyaman—sama sepertiku. Sungguh ini tidak adil untukku.
Kata-katamu berputar-putar begitu saja di otak dan hatiku. Yang bisa kukatakan hanyalah. Iya, aku tahu akan begini jadinya. Iya, aku tak pernah berharap lebih dari ini. Aku hanya merasa nyaman di dekatmu tanpa ingin berharap lebih dari ini. Karena aku begitu mengenalmu, pula memahamimu.
Setelah itu, aku ingin cepat-cepat pulang. Kukatakan, jangan lagi memanggilku seperti dulu. Biarkan aku melupakanmu dan jadi putih yang sesungguhnya. Aku tak mau lagi menjadi abu-abu, merasakan perasaan menyukaimu, tapi nyatanya kamu sudah tak merasakannya.
Aku ingin cepat-cepat berpisah darimu, biar aku bisa meluruhkan embun ini. Biar aku bisa menata hatiku lagi dan berusaha untuk move on. Izinkan aku, aku mohon!
Mengapa kamu harus mengatakan ini padaku? Mengapa kamu harus mengatakannya, padahal aku tahu benar hatimu sebaliknya! Aku ingin marah tapi aku tak mampu.
Kamu mengantarku setelah itu, aku tak berucap apapun ketika aku turun dan beranjak meninggalkanmu. Tak seperti biasanya. Keadaan yang membuatku menjadi seperti ini. Kata-kata sudah tak mampu ku buat dari gerak bibirku. Kita berhenti dalam hening detik berikutnya. Aku memandangmu, berusaha tersenyum seperti biasanya lalu meninggalkanmu.
Aku terduduk di kamarku. Tuhan, mengapa seperti ini jadinya? Sakitnya memang tak menusuk. Tapi tetap saja rasanya sakit. Tuhan, mengapa aku menjadi begitu ragu kini akan dirinya. Akankah benar yang dikatakan hatiku bahwa dia orangnya? Mungkinkah? Tapi mengapa kini untuk kedua kalinya, dia menganggapku bukan apa-apa dalam hidupnya? Haruskah aku menunggunya menyadari bahwa aku disini? Tapi sampai kapan?.
8/10/2012

0 komentar:

Posting Komentar