Malam ini kamu mengajakku pergi,
setelah agak lama kamu sibuk dengan aktivitasmu, juga aku dengan aktivitasku.
Kita tak pernah bertemu lagi setelah beberapa lama. Aku merindukanmu.
Aku mulai bertanya-tanya dan
ketakutan sendiri dengan pertanyaan-pertanyaanku. Apakah saat kita bertemu,
sikapmu akan berubah? Iya, aku tahu kita tidak terikat oleh ‘hubungan’. Justru
itu aku semakin takut. Takut kamu tak sehangat sebelumnya. Takut impian yang mulai
tumbuh kembali itu, layu lagi.
Aku berputar-putar dengan banyak
pertanyaan. Bagaimana rasamu padaku? Bukankah kemarin kamu sempat memelukku dan
berjanji akan melakukannya setiap hari, saat ku katakan aku sangat menyukai
pelukanmu. Harum parfummu, lekuk lenganmu, dan bidangnya dadamu yang mampu menenangkanku.
Aku berdandan cantik hari ini. Aku
memakai dress hijau favoritku. Tak lupa wedges pink, dan cardigan rajutan warna
hijauku. Aku ingin tampil sempurna. Selama ini tak pernah kan kamu melihat
sisiku yang ini? Aku tersenyum lebar di depan cerminku. Memoleskan lip-liquid
warna favoritku, soft pink, berusaha menghilangkan semua keresahanku akanmu.
Aku hanya berdoa pada Tuhan, semoga
semuanya baik-baik saja. Semoga ketakutan-ketakutanku musnah. Handphone ku
bergetar, ada pesanmu disitu. Percaya atau tidak tanganku bergetar membukanya.
Kamu bilang kamu sudah di depan kosku. Segera saja gugup menyergapku.
Tapi aku segera menepisnya, aku
berlari keluar tak ingin membuatmu menunggu lama. Dan ya, aku melihatmu disana,
diatas motor birumu, jam tangan hitam favoritmu, helm batman, baju kotak-kotak
warna putih dengan garis-garis merah—favoritku. Kamu tersenyum menyambutku.
Setelah itu kamu mentraktirku makan
dengan makanan favoritmu. Aku menurut saja, aku ingin membuatmu leluasa
denganku. Lalu kita ke tempat favorit kita saat malam menjemput. Tempat dimana
pemandangan indah kan menyapu mata kita, kerlap kerlip lampu kota dapat
terlihat jelas disana. Matamu terpaku pada lampu-lampu itu. Aku tahu kamu
menyukainya.
Kita berdua lalu duduk dibawah
bintang yang bersinar. Lama ku pandang, raut wajahmu menjadi begitu dingin.
“Sebelum lebih jauh, ada yang ingin
ku katakan padamu”. Aku mengalihkan pandanganku darimu. Tuhan, aku tahu apa
yang akan dia katakan kini. Aku tak bersuara, aku diam saja seolah ingin tahu
apa yang ingin ia katakan selanjutnya.
“Aku cuma menganggapmu tak lebih
dari seorang adik perempuan”
Deg. Tiba-tiba sakit menyergapku.
Disini. Ya tepat disini. Di ulu hatiku. Dan aku masih terdiam. Embunku mulai
muncul, tapi aku masih bisa berakting di depanmu dengan tersenyum.
Kamu katakan, sikapmu selama ini
hanya sebuah uji coba hati. Bukan perasaanmu yang sesungguhnya. Aku luar biasa
bertambah sakit olehnya. Kamu katakan kamu tak ingin aku berubah, ingin tetap
seperti ini. Kamu tak mengizinkanku untuk menjauh. Tapi kamu tak mau pula
menerima perasaanku. Karena, kamu katakan, sampai saat ini hanya aku yang mampu
membuatmu merasa begitu nyaman—sama sepertiku. Sungguh ini tidak adil untukku.
Kata-katamu berputar-putar begitu
saja di otak dan hatiku. Yang bisa kukatakan hanyalah. Iya, aku tahu akan
begini jadinya. Iya, aku tak pernah berharap lebih dari ini. Aku hanya merasa
nyaman di dekatmu tanpa ingin berharap lebih dari ini. Karena aku begitu
mengenalmu, pula memahamimu.
Setelah itu, aku ingin cepat-cepat
pulang. Kukatakan, jangan lagi memanggilku seperti dulu. Biarkan aku
melupakanmu dan jadi putih yang sesungguhnya. Aku tak mau lagi menjadi abu-abu,
merasakan perasaan menyukaimu, tapi nyatanya kamu sudah tak merasakannya.
Aku ingin cepat-cepat berpisah
darimu, biar aku bisa meluruhkan embun ini. Biar aku bisa menata hatiku lagi
dan berusaha untuk move on. Izinkan
aku, aku mohon!
Mengapa kamu harus mengatakan ini
padaku? Mengapa kamu harus mengatakannya, padahal aku tahu benar hatimu
sebaliknya! Aku ingin marah tapi aku tak mampu.
Kamu mengantarku setelah itu, aku
tak berucap apapun ketika aku turun dan beranjak meninggalkanmu. Tak seperti
biasanya. Keadaan yang membuatku menjadi seperti ini. Kata-kata sudah tak mampu
ku buat dari gerak bibirku. Kita berhenti dalam hening detik berikutnya. Aku
memandangmu, berusaha tersenyum seperti biasanya lalu meninggalkanmu.
Aku terduduk di kamarku. Tuhan,
mengapa seperti ini jadinya? Sakitnya memang tak menusuk. Tapi tetap saja
rasanya sakit. Tuhan, mengapa aku menjadi begitu ragu kini akan dirinya. Akankah
benar yang dikatakan hatiku bahwa dia orangnya? Mungkinkah? Tapi mengapa kini
untuk kedua kalinya, dia menganggapku bukan apa-apa dalam hidupnya? Haruskah
aku menunggunya menyadari bahwa aku disini? Tapi sampai kapan?.
8/10/2012
0 komentar:
Posting Komentar