Dulu, banyak hal yang pernah kita
bicarakan seolah kita saling percaya bahwa kita akan terus bersama hingga kita
tua. Seperti panggilan sayang kita, “kakung” dan “uti”. Mereka seperti sebuah
doa untukku dan untukmu.
Dulu, waktu lagi happening-nya
iklan KB, dua anak cukup, kamu bilang kita punya empat anak saja. Biar ramai
rumah kita nanti. Kamu bilang kamu ingin anak pertama kita perempuan, agar dia
jadi perempuan tangguh. Aku melirikmu lalu berkata aku ingin punya dua anak
saja. Melahirkan bagiku terlalu mengerikkan, aku bilang anak pertama kita
laki-laki saja lalu yang kedua perempuan. Alasanku sederhana, agar kakak
laki-lakinya bisa menjaga adik perempuannya.
Kamu memohon padaku dengan gaya
manjamu. Merengek ingin punya empat anak. Dan aku masih saja bersikap jutek tak
mempedulikan rengekanmu. Kalau ku ingat begini, kita dulu lucu ya? Bertengkar
hanya gara-gara sebuah impian, ya impianku dan impianmu waktu itu.
Dulu kamu pernah berjanji akan
menungguku lulus dari Sarjana dan Magisterku untuk menikahiku. Selang tiga
tahun diantaranya akan kamu gunakan untuk membangun karirmu untuk bersamaku.
Dalam hati akupun berjanji untuk melakukannya. Entah apa yang kupikirkan waktu
itu, tapi aku merasa bahwa kamulah orangnya.
Perasaanku bercampur aduk sejak
saat itu, bukan karena impian kita atau janji yang pernah kamu ucapkan. Tapi
lebih kepada hatiku yang sejak saat itu selalu percaya bahwa kamulah orang yang
memang akan menemaniku hingga usia senja menjemputku.
Walau kini, kita tak lagi bersama
seperti waktu itu. Tapi keyakinanku akanmu tak pernah berubah. Siapa bilang aku
tidak mencari orang lain yang lebih baik darimu? Nyatanya mereka memang tak
bisa membuatku nyaman seperti bersamamu. Lalu aku harus apa, jika hatiku selalu
saja berpihak padamu?
Kedatanganmu kini setelah sekian
lama, membuat jantungku tak lagi berdetak dengan normal. Aku dibutakan oleh
perasaanku sendiri akanmu. Sayangnya, dengan begini aku menjadi dipermainkan
oleh perasaanku sendiri. Juga dirimu, saat akhirnya kamu katakan perasaanmu
padaku tak lagi seperti dulu. Dan kehangatanmu saat kamu datang kembali hanya
sebuah uji coba hatimu padaku. Sayangnya lagi, uji coba itu mengatakan negatif.
Dan lagi-lagi kamu pergi begitu
saja. Lalu aku pasrah saja, menertawakan diriku sendiri diantara embun yang
mengalir di pipiku. Aku benci seperti ini. Aku tahu kamu tujuanku sejak awal,
tapi haruskah aku merasakan perih lagi?
Seiring angin meniupkan
memori-memori itu, aku baru merasakan lukanya beberapa waktu kemudian. Aku benci
kamu mempermainkan hatiku yang sudah jelas-jelas hanya bisa berpihak padamu.
Dulu aku pernah merasakan yang
seperti ini, memang tak sesakit dulu. Ketika itu kamu juga pergi dariku, namun masih
ada mimpi yang kau ucapkan. Hingga hatiku masih saja tak mampu menjadi putih.
Tapi kini tak lagi yang seperti itu. Kalaupun kamu memang adalah tujuanku dan
akan kembali padaku suatu saat nanti, mungkin tak semudah dulu atau kini untuk
memenangkan hatiku lagi.
Dulu, aku belum matang untuk
memilihmu. Itu dulu, dulu sekali sebelum kamu mengatakan hatimu tak lagi
seperti dulu dan kamu belum memutuskan untuk membatalkan semua janji-janjimu
dan impian kita. Tapi, dulu itu, aku percaya bahwa perasaan yang menguasai aku
dan kamu adalah murni dan tulus, bukan sekedar uji coba hati.
12/11/2012
2 komentar:
waa. nyesek juga :'(
tp DIA pasti nyiapin yang terbaik, entah itu dia atau yang lainnya
hehe... thanks udah baca,, anyway, I hope so :)
Kenangan kadang memang begitu, kadang indah kadang juga nyesek banget.
Posting Komentar