Pages

Selasa, 13 November 2012

Dulu



Dulu, banyak hal yang pernah kita bicarakan seolah kita saling percaya bahwa kita akan terus bersama hingga kita tua. Seperti panggilan sayang kita, “kakung” dan “uti”. Mereka seperti sebuah doa untukku dan untukmu.
Dulu, waktu lagi happening-nya iklan KB, dua anak cukup, kamu bilang kita punya empat anak saja. Biar ramai rumah kita nanti. Kamu bilang kamu ingin anak pertama kita perempuan, agar dia jadi perempuan tangguh. Aku melirikmu lalu berkata aku ingin punya dua anak saja. Melahirkan bagiku terlalu mengerikkan, aku bilang anak pertama kita laki-laki saja lalu yang kedua perempuan. Alasanku sederhana, agar kakak laki-lakinya bisa menjaga adik perempuannya.
Kamu memohon padaku dengan gaya manjamu. Merengek ingin punya empat anak. Dan aku masih saja bersikap jutek tak mempedulikan rengekanmu. Kalau ku ingat begini, kita dulu lucu ya? Bertengkar hanya gara-gara sebuah impian, ya impianku dan impianmu waktu itu.
Dulu kamu pernah berjanji akan menungguku lulus dari Sarjana dan Magisterku untuk menikahiku. Selang tiga tahun diantaranya akan kamu gunakan untuk membangun karirmu untuk bersamaku. Dalam hati akupun berjanji untuk melakukannya. Entah apa yang kupikirkan waktu itu, tapi aku merasa bahwa kamulah orangnya.
Perasaanku bercampur aduk sejak saat itu, bukan karena impian kita atau janji yang pernah kamu ucapkan. Tapi lebih kepada hatiku yang sejak saat itu selalu percaya bahwa kamulah orang yang memang akan menemaniku hingga usia senja menjemputku.
Walau kini, kita tak lagi bersama seperti waktu itu. Tapi keyakinanku akanmu tak pernah berubah. Siapa bilang aku tidak mencari orang lain yang lebih baik darimu? Nyatanya mereka memang tak bisa membuatku nyaman seperti bersamamu. Lalu aku harus apa, jika hatiku selalu saja berpihak padamu?
Kedatanganmu kini setelah sekian lama, membuat jantungku tak lagi berdetak dengan normal. Aku dibutakan oleh perasaanku sendiri akanmu. Sayangnya, dengan begini aku menjadi dipermainkan oleh perasaanku sendiri. Juga dirimu, saat akhirnya kamu katakan perasaanmu padaku tak lagi seperti dulu. Dan kehangatanmu saat kamu datang kembali hanya sebuah uji coba hatimu padaku. Sayangnya lagi, uji coba itu mengatakan negatif.
Dan lagi-lagi kamu pergi begitu saja. Lalu aku pasrah saja, menertawakan diriku sendiri diantara embun yang mengalir di pipiku. Aku benci seperti ini. Aku tahu kamu tujuanku sejak awal, tapi haruskah aku merasakan perih lagi?
Seiring angin meniupkan memori-memori itu, aku baru merasakan lukanya beberapa waktu kemudian. Aku benci kamu mempermainkan hatiku yang sudah jelas-jelas hanya bisa berpihak padamu.
Dulu aku pernah merasakan yang seperti ini, memang tak sesakit dulu. Ketika itu kamu juga pergi dariku, namun masih ada mimpi yang kau ucapkan. Hingga hatiku masih saja tak mampu menjadi putih. Tapi kini tak lagi yang seperti itu. Kalaupun kamu memang adalah tujuanku dan akan kembali padaku suatu saat nanti, mungkin tak semudah dulu atau kini untuk memenangkan hatiku lagi.
Dulu, aku belum matang untuk memilihmu. Itu dulu, dulu sekali sebelum kamu mengatakan hatimu tak lagi seperti dulu dan kamu belum memutuskan untuk membatalkan semua janji-janjimu dan impian kita. Tapi, dulu itu, aku percaya bahwa perasaan yang menguasai aku dan kamu adalah murni dan tulus, bukan sekedar uji coba hati.

12/11/2012

2 komentar:

Anonim

waa. nyesek juga :'(

tp DIA pasti nyiapin yang terbaik, entah itu dia atau yang lainnya

Prameswalatte

hehe... thanks udah baca,, anyway, I hope so :)
Kenangan kadang memang begitu, kadang indah kadang juga nyesek banget.

Posting Komentar