Pages

Selasa, 20 November 2012

Dan Kita Saling Berteriak

Kemarin aku mengirimkan pesan padamu. Aku bertanya, bolehkah aku marah padamu? Kamu bingung kenapa aku tiba-tiba mengirim pesan demikian. Kamu minta maaf karena tak membalas pesanku kemarin malam. Tapi kukatakan, bukan itu masalahnya, nanti, kalau kita bertemu akan kujelaskan.

Selang dua hari aku tak menghubungimu, pesanmu masuk ke ponselku, “Kita jadi bertemu?”. Kukatakan terserah, lalu kamu berjanji akan menemuiku sejam berikutnya. Aku menurut saja, tapi sebenarnya jantungku pun berdetak begitu kencang. Baiklah, aku tahu aku masih sangat mencintainya. Bertemu saja begini, bagaimana bisa marah?
Tapi tidak, aku harus tetap bisa ber-akting marah padanya. Aku harus jadi perempuan yang punya prinsip di depannya. Well, aku tak ingin dia terus-terusan mempermainkan hatiku. Huftt, aku menarik nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya sembari menunggunya datang.
Ya Tuhan, aku gugup. Apa yang harus ku katakan nanti ketika bertemu. Aku tak membiarkan diriku membanyangkannya. Saat pesannya masuk ke ponselku, aku masih berusaha menenangkan diriku. Oke, dia datang. Aku berkomat-kamit sendiri mencoba menghilangkan gugupku.
Kami kemudian duduk di kursi panjang di teras rumah. Duduk kami agak berjauhan. Beberapa kali ku dengar dia terbatuk-batuk. “Kamu sakit?” tanyaku basa-basi. “Iya” suaranya parau menjawabku.
“Sudah makan? Minum obat?”
“Sudah barusan, tapi belum minum obat”
“Minum obat dulu sana, aku lho kasian liat e”
“Aku nggak apa-apa. Kemarin kamu bilang kamu marah sama aku. Marahi aku sekarang kalau begitu” katanya. Aku terdiam.
“Well, aku nggak akan tega marahin orang sakit”
“Nggak papa. Memangnya aku punya salah apa padamu? Pasti masih nyangkut-nyangkut masalah kemarin kan?”
Aku tertawa tapi memandang ke arah lain. Aku tak tahu bagaimana ekspresimu waktu itu, aku tak berani melihatnya. Yah, aku mencoba mencairkan suasana. Kadang tak perlu ada suasana tegang pula saat menyelesaikan masalah.
“Aku cuman ngerasa kamu nggak konsisten. Dulu kamu bilang kamu suka, tapi kemarin kamu bilang kamu cuma menganggapku adik perempuanmu. Aku nggak ngerti. Rasanya cuman sebuah boneka yang kalo pengen dimainin, kalau udah bosen yaudah dibuang gitu aja. Rasanya sakit” aku tertawa tanpa melihatnya, “tapi yaudalah, aku cuman ingin cerita aja kok apa yang aku rasain” kita terdiam di beberapa menit berikutnya.
“Aku merasa selalu aku yang disalahkan. Yang nggak konsistenlah, yang beginilah begitulah. Menurutku kamu juga tidak konsisten. Kalau kamu konsisten, kamu nggak akan mau menerimaku dengan sikapku setelah kita dekat lagi. Sikapku yang memang ku akui memberikan harapan. Kalau kamu konsisten…”
“Aku konsisten!”sambil tertawa, aku menyelanya.
“Nggak, kamu nggak konsisten. Kalau kamu konsisten kamu nggak akan membiarkanku…”
“Aku konsisten!”
“Kamu nggak akan membiarkanku bersikap seperti itu”
“Aku konsisten”
“Nggak”
“Aku konsisten, aku masih mencintaimu dari dulu sampai sekarang! Rasaku masih tetap sama. Lalu aku harus bagaimana?” aku berteriak, lalu memandangnya. Tak berapa lama aku mengalihkan pandanganku. Tak punya prediksi bagaimana reaksinya detik berikutnya.
“Memangnya dari dulu sampai sekarang yang masih mencintai, hanya kamu?” aku terdiam. Tuhan ! Aku tidak menyangka dia akan berkata demikian.
“Memangnya siapa yang tidak ingin menepati janji-janji dan mimpi-mimpi yang dulu pernah ada?”
Aku semakin terdiam dengan kata-katanya. Tuhan! Dadaku sesak, aku bahagia dia berkata demikian. Tuhan, nyatanya dia memang masih menyimpan rasa yang sama denganku.
Aku memandangnya lalu tersenyum, malu. Dia malah tersenyum lebih lebar dariku. Ya Tuhan, sungguh aku semakin percaya padanya, juga pada tanda yang Engkau berikan pada hatiku yang memang telah memilihnya.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam, setelah kita berbincang sambil saling tersenyum malu-malu. Kamu berpamitan pulang.
“Aku sudah tidak marah. Bagaimana denganmu? Masih ingin marah kah?” kataku saat mengantarmu ke depan pagar.
“Aku sudah tidak mempermasalahkannya kok” ujarnya sambil tersenyum.
Aku mengangguk dan membalas senyumnya. Detik berikutnya, aku sudah melambaikan tangan, mengantar bayangmu disudut gang. Bintang, kamu tahu ceritaku malam ini :) .
14/11/2012

0 komentar:

Posting Komentar