Pages

Selasa, 16 Oktober 2012

Sepuluh Menit



Dan aku bahkan tak mampu menyapamu walau jarak kita hanya 30 sentimeter. Aku rikuh dan tiba-tiba saja tak mampu berkata-kata.  Hanya alunan lagu yang menyapa dalam sepuluh menit diam ini. Aku dan kamu pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak kenal, pura-pura tak melihat, pura-pura buta.

Aku berharap bisa mengulang waktu, agar tak ada sepuluh menit diam ini. aku berharap semua yang terjadi dulu tak pernah terjadi, agar kita masih bisa menyapa kini. Aku berharap tak ada hati yang terluka dulu, agar kita bisa tertawa bersama kini. Aku berharap dulu kamu mau menerima maafku, agar kini kita bisa bercengkrama dan bertukar cerita lagi.
Ragaku tiba-tiba menelisik kenangan setiap sore yang pernah kita lalui dulu. Masih ingatkah kau? Bermain-main dengan ombak yang menyapa kaki-kaki mungil kita. Bercengkrama melihat senja berpulang. Masihkah kamu ingat warna favorit kita dulu? Ya, warna setelah oranye di langit senja. Magenta!
Sayangnya sore ini sudah tak seindah dulu. Bukan ombak yang menyapa kaki-kaki mungil kita, tapi rintik hujan yang menahannya untuk melangkah. Bukan pula magenta yang selalu kita nantikan datangnya, tapi mendung gelap yang menyelimuti langit senja kita. Seperti kita.
Aku berharap kau tahu, aku tak ingin terjebak di sepuluh menit yang semakin lama semakin menyiksaku ini. Aku berharap aku bisa merengkuhmu dan mengucapkan maaf sekali lagi. Tapi tubuhku tak mengizinkannya.
Dan sepuluh menit itu berakhir begitu saja saat kamu melangkahkan kakimu pergi. Embun di pipikulah yang mengantarkanmu. Aku menyesal dengan semua yang pernah terjadi. Aku menyesal tak menyapamu dalam sepuluh menit ini. Begitu rapuhnya aku ketika melihat punggungmu segera saja menjauh tanpa sempat ku tepuk.

0 komentar:

Posting Komentar