Dan aku bahkan tak mampu menyapamu walau
jarak kita hanya 30 sentimeter. Aku rikuh dan tiba-tiba saja tak mampu
berkata-kata. Hanya alunan lagu yang
menyapa dalam sepuluh menit diam ini. Aku dan kamu pura-pura tidak tahu,
pura-pura tidak kenal, pura-pura tak melihat, pura-pura buta.
Aku berharap bisa mengulang waktu, agar
tak ada sepuluh menit diam ini. aku berharap semua yang terjadi dulu tak pernah
terjadi, agar kita masih bisa menyapa kini. Aku berharap tak ada hati yang
terluka dulu, agar kita bisa tertawa bersama kini. Aku berharap dulu kamu mau
menerima maafku, agar kini kita bisa bercengkrama dan bertukar cerita lagi.
Ragaku tiba-tiba menelisik kenangan setiap
sore yang pernah kita lalui dulu. Masih ingatkah kau? Bermain-main dengan ombak
yang menyapa kaki-kaki mungil kita. Bercengkrama melihat senja berpulang.
Masihkah kamu ingat warna favorit kita dulu? Ya, warna setelah oranye di langit
senja. Magenta!
Sayangnya sore ini sudah tak seindah dulu.
Bukan ombak yang menyapa kaki-kaki mungil kita, tapi rintik hujan yang
menahannya untuk melangkah. Bukan pula magenta yang selalu kita nantikan
datangnya, tapi mendung gelap yang menyelimuti langit senja kita. Seperti kita.
Aku berharap kau tahu, aku tak ingin
terjebak di sepuluh menit yang semakin lama semakin menyiksaku ini. Aku
berharap aku bisa merengkuhmu dan mengucapkan maaf sekali lagi. Tapi tubuhku
tak mengizinkannya.
Dan sepuluh menit itu berakhir begitu saja
saat kamu melangkahkan kakimu pergi. Embun di pipikulah yang mengantarkanmu.
Aku menyesal dengan semua yang pernah terjadi. Aku menyesal tak menyapamu dalam
sepuluh menit ini. Begitu rapuhnya aku ketika melihat punggungmu segera saja
menjauh tanpa sempat ku tepuk.
0 komentar:
Posting Komentar