Aku berlari mengejarmu dan mimpi
kita. Aku berlari mengejarmu yang berada dalam bis yang membawamu pergi menjauh
dariku. Aku menjadi bodoh ketika aku dengan tak sengaja melihatmu berada dalam
bis itu, hatiku langsung ngilu. Aku meninggalkan motorku begitu saja, lalu
berlari mengejarmu. Aku bukan mengejarmu sesungguhnya, aku hanya berlari
mengejar cintaku, bahagiaku, dan keyakinanku akanmu.
Mereka beputar-putar diotakku,
bertanya-tanya, lalu tanpa izinku mereka memasuki hatiku dan membuatnya ngilu
juga perih, bersamaan. Kini mataku mulai berkubang dan memerah saat bus itu
akhirnya berhenti. Kita saling bertatapan beberapa lama. Banyak sekali yang
ingin kusampaikan padamu. Banyak sekali, tapi selalu seperti ini, aku bungkam
ketika menatap mata indahmu yang selalu kurindukan.
“Kamu mau kemana?” tanyaku parau,
tapi mungkin kamu tidak mendengar seberapa paraunya. Karena aku ada di balik
kaca bis berdiri seperti seseorang yang sedang memperjuangkan haknya. Namun,
tak lagi saat embun itu satu-persatu mulai runtuh di pelupuk mataku.
“Aku mau pulang, aku kangen mama”
“Jauh?”
Dan kamu hanya tersenyum dan
mengangguk. Kamu tidak menangis. Kamu tersenyum, manis, manis sekali. Aku belum
pernah melihat kamu tersenyum se-manis dan se-cantik hari ini.
Gaya bicaramu tak pernah berubah.
Kombinasi antara kedip matamu, gelengan kepalamu, gerak bibirmu, senyummu,
semuanya tak berubah. Kini, aku memang tidak bisa mendengar suaramu, tapi aku
bisa membaca bibirmu. Tenang saja aku sudah memberinya suara tambahan di otakku
sehingga kamu tetap seperti berbicara padaku seperti biasanya. Aku sudah punya
banyak stok suaramu yang sudah kurekam diam-diam diotakku dari waktu-waktu yang
telah kita lalui bersama.
Aku tak ingin waktu ini berakhir,
aku ingin belama-lama melihatmu. Sungguh aku tak ingin kamu pergi, meninggalkan
aku, meninggalkan kota ini, meninggalkan cerita kita yang telah kita bangun
selama ini. Jangan langkahkan kakimu, bidadari pagiku.
Mataku semakin panas melihatmu tak ada
kata yang mampu keluar lagi, tapi otak dan hatiku dipenuhi
pertanyaan-pertanyaan. Aku semakin sulit melepaskan pandanganku darimu. Seiring
itu bis yang membawamu perlahan mulai melaju. Kamu refleks melambaikan tangan
padaku. Sangat berat aku mengangkat tanganku, tapi kulakukan saja. Embunku
semakin banyak, aku menghapusnya, dan aku tahu kamu masih melihatku sampai
banyangmu hilang ditelan kejauhan. Lalu aku akan menghapus perihku sendiri dan
berkata “Jangan Pergi”.
Sebuah keterlambatan yang sia-sia.
0 komentar:
Posting Komentar