Pages

Sabtu, 27 Oktober 2012

Mengejarmu


Aku berlari mengejarmu dan mimpi kita. Aku berlari mengejarmu yang berada dalam bis yang membawamu pergi menjauh dariku. Aku menjadi bodoh ketika aku dengan tak sengaja melihatmu berada dalam bis itu, hatiku langsung ngilu. Aku meninggalkan motorku begitu saja, lalu berlari mengejarmu. Aku bukan mengejarmu sesungguhnya, aku hanya berlari mengejar cintaku, bahagiaku, dan keyakinanku akanmu.

Mereka beputar-putar diotakku, bertanya-tanya, lalu tanpa izinku mereka memasuki hatiku dan membuatnya ngilu juga perih, bersamaan. Kini mataku mulai berkubang dan memerah saat bus itu akhirnya berhenti. Kita saling bertatapan beberapa lama. Banyak sekali yang ingin kusampaikan padamu. Banyak sekali, tapi selalu seperti ini, aku bungkam ketika menatap mata indahmu yang selalu kurindukan.
“Kamu mau kemana?” tanyaku parau, tapi mungkin kamu tidak mendengar seberapa paraunya. Karena aku ada di balik kaca bis berdiri seperti seseorang yang sedang memperjuangkan haknya. Namun, tak lagi saat embun itu satu-persatu mulai runtuh di pelupuk mataku.
“Aku mau pulang, aku kangen mama”
“Jauh?”
Dan kamu hanya tersenyum dan mengangguk. Kamu tidak menangis. Kamu tersenyum, manis, manis sekali. Aku belum pernah melihat kamu tersenyum se-manis dan se-cantik hari ini.
Gaya bicaramu tak pernah berubah. Kombinasi antara kedip matamu, gelengan kepalamu, gerak bibirmu, senyummu, semuanya tak berubah. Kini, aku memang tidak bisa mendengar suaramu, tapi aku bisa membaca bibirmu. Tenang saja aku sudah memberinya suara tambahan di otakku sehingga kamu tetap seperti berbicara padaku seperti biasanya. Aku sudah punya banyak stok suaramu yang sudah kurekam diam-diam diotakku dari waktu-waktu yang telah kita lalui bersama.
Aku tak ingin waktu ini berakhir, aku ingin belama-lama melihatmu. Sungguh aku tak ingin kamu pergi, meninggalkan aku, meninggalkan kota ini, meninggalkan cerita kita yang telah kita bangun selama ini. Jangan langkahkan kakimu, bidadari pagiku.
Mataku semakin panas melihatmu tak ada kata yang mampu keluar lagi, tapi otak dan hatiku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. Aku semakin sulit melepaskan pandanganku darimu. Seiring itu bis yang membawamu perlahan mulai melaju. Kamu refleks melambaikan tangan padaku. Sangat berat aku mengangkat tanganku, tapi kulakukan saja. Embunku semakin banyak, aku menghapusnya, dan aku tahu kamu masih melihatku sampai banyangmu hilang ditelan kejauhan. Lalu aku akan menghapus perihku sendiri dan berkata “Jangan Pergi”.
Sebuah keterlambatan yang sia-sia.

0 komentar:

Posting Komentar