Pages

Sabtu, 27 Oktober 2012

Tak Banyak, Tuhan



Ada yang mengalir dipipiku, tapi mulutku terbungkam, tak lagi mampu untuk berkata-kata. Aku memandangmu dari kejauhan waktu itu, tak ada senyum ataupun canda yang kau goreskan. Kenapa kamu berubah menjadi begitu kejam, membuatku kacau, tak tahu lagi bagaimana harus bertingkah didepanmu.
Padahal dua hari yang lalu kamu masih menampakkan senyum itu, berbicara denganku seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi kini seratus delapan puluh derajat, kamu tak peduli padaku, tak peduli pada hatiku yang teriris perih kesakitan. Aku tak tahu apa yang terjadi padamu. Kamu bahkan tak pernah menjelaskannya, apa aku butuh? Tentu!

Aku butuh alasan konkrit kenapa aku tak lagi pantas untukmu. Tak lagi pantas mendampingimu. Tak lagi pantas mencintaimu. Tak lagi pantas menjadi kebanggaanmu. Tak lagi menjadi sandaranmu. Tak lagi pantas dicintai olehmu. Tak lagi pantas jadi wanitamu. . . Hal yang selalu aku banggakan.
Aku butuh alasan. Tidak untuk tahu lalu berusaha memperbaiki dan merubah untuk kembali lagi padamu. Aku tahu hatimu kini sudah tertutup untukku. Kamu sudah mengatakan dengan jelas dibagian itu, dulu. Tapi akankah kamu merubah prinsipmu? Aku jelas tak tahu. Yang jelas, aku takkan memaksamu untuk kembali padaku. Meskipun ulu hati selalu perih saat aku mengingat kamu bukan lagi pangeran berkudaku.
Kamu tahu apa yang coba kulakukan selanjutnya? Berusaha sekuat tenaga buat ikhlasin kamu, menyapamu lagi seperti dulu—ya, seperti teman, berusaha bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi aku merasa hatimu terlalu beku untukku. Aku harus memahatnya sedikit demi sedikit untuk meruntuhkannya. Mengembalikan sosok yang hangat dan ceria, serta senyum lebar yang selalu kurindukan.
Tuhan, seandainya aku bisa memutar waktu. Aku berharap aku tahu kesalahan-kesalahanku waktu itu sehingga aku bisa memperbaikinya saat itu juga. Tapi kini rasanya sudah begitu terlambat. Aku menyesal aku tidak bisa memperbaikinya.
Setidaknya, jika memang aku tidak ditakdirkan untuknya. Izinkan aku untuk mencintainya diam-diam. Menahan setiap percikan hatiku ketika menatap matanya, mendengar renyah tawanya, melihat senyumnya, aku berharap aku dan dia masih bisa berbincang dalam satu ikatan yang bernamakan “teman”.
Aku mencintainya, Tuhan. Tapi jika dia memang sudah memutuskan demikian, aku pun tak bisa memaksanya untuk kembali. Yang aku mohon ditengah malam ini hanyalah, semoga setengah tidurku selanjutnya adalah bermimpi tentangnya. Dan esok ketika aku bertemu dengannya, dia akan memberiku senyuman lagi, mengejekku lagi, lalu bermain-main lagi seolah semua baik-baik saja. Aku tidak berharap banyak, Tuhan. Hanya itu. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar