Ada yang mengalir
dipipiku, tapi mulutku terbungkam, tak lagi mampu untuk berkata-kata. Aku
memandangmu dari kejauhan waktu itu, tak ada senyum ataupun canda yang kau
goreskan. Kenapa kamu berubah menjadi begitu kejam, membuatku kacau, tak tahu
lagi bagaimana harus bertingkah didepanmu.
Padahal dua hari yang
lalu kamu masih menampakkan senyum itu, berbicara denganku seolah tidak terjadi
apa-apa. Tapi kini seratus delapan puluh derajat, kamu tak peduli padaku, tak
peduli pada hatiku yang teriris perih kesakitan. Aku tak tahu apa yang terjadi
padamu. Kamu bahkan tak pernah menjelaskannya, apa aku butuh? Tentu!
Aku butuh alasan
konkrit kenapa aku tak lagi pantas untukmu. Tak lagi pantas mendampingimu. Tak
lagi pantas mencintaimu. Tak lagi pantas menjadi kebanggaanmu. Tak lagi menjadi
sandaranmu. Tak lagi pantas dicintai olehmu. Tak lagi pantas jadi wanitamu. . .
Hal yang selalu aku banggakan.
Aku butuh alasan. Tidak
untuk tahu lalu berusaha memperbaiki dan merubah untuk kembali lagi padamu. Aku
tahu hatimu kini sudah tertutup untukku. Kamu sudah mengatakan dengan jelas
dibagian itu, dulu. Tapi akankah kamu merubah prinsipmu? Aku jelas tak tahu.
Yang jelas, aku takkan memaksamu untuk kembali padaku. Meskipun ulu hati selalu
perih saat aku mengingat kamu bukan lagi pangeran berkudaku.
Kamu tahu apa yang coba
kulakukan selanjutnya? Berusaha sekuat tenaga buat ikhlasin kamu, menyapamu
lagi seperti dulu—ya, seperti teman, berusaha bertingkah seperti tidak terjadi
apa-apa. Tapi aku merasa hatimu terlalu beku untukku. Aku harus memahatnya
sedikit demi sedikit untuk meruntuhkannya. Mengembalikan sosok yang hangat dan
ceria, serta senyum lebar yang selalu kurindukan.
Tuhan, seandainya aku
bisa memutar waktu. Aku berharap aku tahu kesalahan-kesalahanku waktu itu
sehingga aku bisa memperbaikinya saat itu juga. Tapi kini rasanya sudah begitu
terlambat. Aku menyesal aku tidak bisa memperbaikinya.
Setidaknya, jika memang
aku tidak ditakdirkan untuknya. Izinkan aku untuk mencintainya diam-diam.
Menahan setiap percikan hatiku ketika menatap matanya, mendengar renyah
tawanya, melihat senyumnya, aku berharap aku dan dia masih bisa berbincang
dalam satu ikatan yang bernamakan “teman”.
Aku mencintainya,
Tuhan. Tapi jika dia memang sudah memutuskan demikian, aku pun tak bisa
memaksanya untuk kembali. Yang aku mohon ditengah malam ini hanyalah, semoga
setengah tidurku selanjutnya adalah bermimpi tentangnya. Dan esok ketika aku bertemu
dengannya, dia akan memberiku senyuman lagi, mengejekku lagi, lalu bermain-main
lagi seolah semua baik-baik saja. Aku tidak berharap banyak, Tuhan. Hanya itu. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar