“Kamu
masih disini?” aku tercengang melihatmu duduk diam. Dibawah pohon rindang yang
bernamakan aku dan kamu, kamu masih menungguku. Dalam aroma khas yang bernama
cinta, tempat ini masih sama seperti dulu. Kamu balik melihatku, raut wajahmu
tampak sumringah melihat kedatanganku. Kesedihanmu yang kurasa telah sekian
lama kau pendam kini mulai runtuh dan menamparku. Dadaku tersentak hebat, tahu
kalau nyatanya kamulah yang masih menepati janji. Nyatanya kamulah yang masih
menungguku.
“Kenapa
kamu membuat dirimu terperangkap oleh kenangan?” suaraku berubah parau. Mataku
panas, dadaku sesak penuh penyesalan. Aku tahu embun segera runtuh dari kelopak
mataku. Dahiku berkerut. Aku bahkan tak sempat bergerak untuk menyambutmu. Aku
terpaku oleh pandanganmu akanmu. Kamu berdiri dari dudukmu, mengambil posisi
tepat di depanku hingga aku bisa melihatmu lebih dekat.
“Memangnya,
salah kalau aku membuat diriku terpengarkap oleh kenangan?” ada garis tipis
muncul dari bibirmu, seketika itu pula ku lihat deretan gigimu yang masih rapi.
Senyum itu, khas sekali olehmu. Aku seperti de javu. “Memangnya, salah jika aku
masih menunggumu disini? Aku percaya kamu pasti datang. Dan ya, kamu disini
sekarang. Hingga penantianku takkan jadi sia-sia” ujarmu lagi.
“Bagaimana
kamu bisa begitu yakin aku akan benar-benar datang padamu?” aku mengalihkan
pandanganku. Aku tak bisa menatap matanya terlalu lama. Akan semakin menyesak
rasa penyesalan itiu bila kuteruskan.
“Kenapa
harus tidak yakin, nyatanya kini kamu datang sesuai dengan keyakinanku bukan?”
ia melangkahkan satu kakinya agar lebih dekat denganku. Kedua tangannya yang
panjang dan besar meraihku. Aku pernah merasakan dekapan ini, aku nyaman dan
aku seperti terbang karena debaran jantung yang tak lagi mampu untuk ku
kendalikan. Terlalu cepat, dan ini yang kurasakan pula sekarang.
“Aku
merindukanmu” ujarnya tepat di telinga kananku. “Bisakah kau, jangan lagi pergi
dari hidupku? Aku bersumpah aku takkan bisa lagi tanpamu. Aku tahu rasanya sendirian
dan kesepian. Dan yang mampu mengisi kosong dari sendiri dan sepiku hanyalah
kau” aku meleleh mendengarnya berbicara seperti itu. Aku tak pernah mendengar
rangkaian kata seperti itu keluar darinya. Seketika saja hatiku mulai percaya
lagi padanya. Aku membalas peluknya yang kian erat, seakan takkan pernah lagi
ingin membiarkanku melangkahkan kaki pergi dari hidupnya.
Tapi
sedetik kemudian aku melepaskankan peluknya. “Aku tidak bisa” ujarku
mengalihkan pandangan. “Aku pernah mengingkari janji yang pernah kita buat. Aku
pernah berhenti berharap padamu. Aku telah menyerah sebelum ini. Maafkan aku,
aku tidak bisa kembali padamu.”
“Apakah
kamu telah bersama orang lain kini?” katamu lagi masih tetap tenang.
“Tidak.
Bukan seperti itu. Tapi…” aku tidak bisa meneruskan ucapanku. Embun mengalir
dari sudut gelap mataku. Aku terisak dan tak berani melihatmu. Tapi kamu datang
dan memelukku lagi.
“Sudah
jangan menangis lagi. Aku mengerti. Sudah, tak apa. Aku menerimamu kini,
seperti apapun dirimu dulu. Aku mengerti apa yang kau rasakan” kamu mencoba
menenangkanku dalam tangisku yang kian pecah.
Begitu
banyak yang telah terlewatkan, begitu banyak yang telah singgah di hati.
Tapi kamu yang mampu mengerti aku. Kini pantaskah aku jika aku masih ingin
memilihmu ? Pantaskah aku yang seperti ini kembali memiliki cinta murni yang
kau tawarkan hanya untukku. Aku pasrah.
Aku
pasrah karena aku tahu salahku. Aku pasrah karena salah mengira cintamu
dangkal. Tapi nyatanya, cintamu terlalu besar untukku. Kini, aku hanya ingin
membalasnya. Berjanji akan merengkuhmu tanpa mau melepasmu lagi ataupun
berpaling mencari hati yang lain. Aku berjanji untukmu…
0 komentar:
Posting Komentar