Hujan turun sore ini, ia menyisakan
harum tanah. Butiran-butiran itu telah runtuh semua, tak bersisa satupun. Yang
ia tinggalkan adalah suasana basah yang tak kunjung kering. Daun-daun menghijau
seketika. Debu yang semula berada dipermukaan menguap bersama embun. Hanya
sejuk yang terasa. Anginpun menjadi lebih dingin, tak leluasa aku bergerak
dalam lamunku. Meringkuk dan kesusahan bernafas, udara terlalu kejam
menjamahku, seperti berada dalam gundukan salju. Padahal ini hanya hujan di
wilayah tropis, katamu.
Suatu ketika yang lalu, kita pernah
bersua dengan hujan yang sama. Berlarian mengejar mimpi, saling meraih dalam
senja. Hati yang kosong kian terisi oleh kehadiranmu. Mengertilah hujan ini tak
lagi sedingin dulu. Kini ia hangat oleh canda dan senyummu yang tak pernah
selesai. Aku bersamamu seperti awan dan hujan lalu pagi dan matahari. Hujan ini
tak lagi seperti dulu yang olehnya aku meringkuk. Ingat tidak, kita berjanji di
bawah hujan untuk saling setia hingga tiba waktunya.
Ketika waktu berjalan tanpa bisa ku
hentikan. Amarah meruntuhkan senyum dan canda yang memeluk kita. Hanya rintihan
yang muncul dari hati yang terluka dan berdarah. Terhapus sudah hujan itu
digantikan oleh kemarau panjang antara aku dan kamu. Tak ada yang menjamahku
lagi. Embun memang turun, tapi ia muncul di sudut gelap mataku tiap ku
mengingatmu. Tak bisa ku pungkiri lagi aku menjadi debu. Terbang tak tentu arah
mencarimu, tapi tak kunjung menemukan. Lalu aku menghilang begitu saja dari
hidupmu.
Kini bukan lagi hujan atau kemarau
tanpamu. Ia sudah berkali berganti musim, seperti tak pernah lelah mencari
penggantimu. Dan kali ini ketika aku berhenti sejenak, aku tiba-tiba
dipertemukan lagi dengan hujan itu. Lalu seperti mengulur perih yang tak kunjung
usai ketika aku menjamah kenangan bersamamu itu lagi.
Bagaimana kabarmu kini? Pertanyaan
itu tiba-tiba menyeruak begitu saja dalam benakku. Masihkah kamu memegang janji
yang pernah kita ucapkan dulu? Bertemu lagi di ujung senja ketika warna magenta
kian menguar di langit sore. Ya, dalam magenta—warna kesukaan kita. Dua tahun
lagi, di tempat ini, berarti tepat setahun lagi janji itu harusnya kita tepati.
Namun, benarkah akan terwujud? Benarkah akan benar-benar terwujud? Aku mulai
ragu padamu, pada janji kita bahkan pada diriku sendiri.
Bisa saja saat kita mengucap janji
aku dan kamu hanya terbawa suasana perpisahan. Tapi bukankah kini sudah menjadi
berbeda. Ketakutan menguasaiku lagi. Ketakutan akan benarkah kamu akan menepati
janji yang telah kita sepakati dulu. Ketakutan akankah kamu tidak menghilang
dan melupakannya begitu saja. Aku takut pula pada diriku sendiri, bisakah aku
bisa bertahan dengan kesendirianku dalam penantian yang ku rasa terlalu lama
ini. Aku ragu.
Aku benci dalam kesendirian ini. Aku
benci menunggu terlalu lama seperti ini. Kenangan dan memori tentangmu bukan
semakin jelas dan bertahan dalam benakku, tapi semakin memudar. Aku tak bisa
mencegahnya lagi. Aku sudah mengumpulkan seluruh kenangan itu lagi. Aku sudah
berusaha tapi nyatanya aku tak mampu. Aku tak bisa sendirian menghadapi ini
semua sendirian. Maafkan aku, aku membuka hati untuk orang lain.
Dia telah menungguku bahkan
sebelummu datang dalam hidupku. Oh, haruskah aku menceritakan tentangnya
padamu? Ini akan melukaimu jika ku teruskan. Kucukupkan saja. Maafkan aku.
Maaf, aku mengingkari janji kita untuk tetap setia hingga tiba saatnya aku
bertemu lagi denganmu. Katakan aku pengingkar atau caci maki aku. Kamupun tak
lagi pernah menjamah bayangku sekalipun.
Hujan, senja, dan magenta mereka
kian pudar dalam retianku. Mereka masih indah, tapi tak lagi mampu bermakna
seperti ketika kita berdua merasakannya dulu. Terimakasih untuk kenangan yang
tersimpan dalam tiga hal itu. Terlalu Indah.
0 komentar:
Posting Komentar