Pages

Rabu, 01 Agustus 2012

Maaf, Aku Mengingkarinya


Hujan turun sore ini, ia menyisakan harum tanah. Butiran-butiran itu telah runtuh semua, tak bersisa satupun. Yang ia tinggalkan adalah suasana basah yang tak kunjung kering. Daun-daun menghijau seketika. Debu yang semula berada dipermukaan menguap bersama embun. Hanya sejuk yang terasa. Anginpun menjadi lebih dingin, tak leluasa aku bergerak dalam lamunku. Meringkuk dan kesusahan bernafas, udara terlalu kejam menjamahku, seperti berada dalam gundukan salju. Padahal ini hanya hujan di wilayah tropis, katamu.

Suatu ketika yang lalu, kita pernah bersua dengan hujan yang sama. Berlarian mengejar mimpi, saling meraih dalam senja. Hati yang kosong kian terisi oleh kehadiranmu. Mengertilah hujan ini tak lagi sedingin dulu. Kini ia hangat oleh canda dan senyummu yang tak pernah selesai. Aku bersamamu seperti awan dan hujan lalu pagi dan matahari. Hujan ini tak lagi seperti dulu yang olehnya aku meringkuk. Ingat tidak, kita berjanji di bawah hujan untuk saling setia hingga tiba waktunya.

Ketika waktu berjalan tanpa bisa ku hentikan. Amarah meruntuhkan senyum dan canda yang memeluk kita. Hanya rintihan yang muncul dari hati yang terluka dan berdarah. Terhapus sudah hujan itu digantikan oleh kemarau panjang antara aku dan kamu. Tak ada yang menjamahku lagi. Embun memang turun, tapi ia muncul di sudut gelap mataku tiap ku mengingatmu. Tak bisa ku pungkiri lagi aku menjadi debu. Terbang tak tentu arah mencarimu, tapi tak kunjung menemukan. Lalu aku menghilang begitu saja dari hidupmu.

Kini bukan lagi hujan atau kemarau tanpamu. Ia sudah berkali berganti musim, seperti tak pernah lelah mencari penggantimu. Dan kali ini ketika aku berhenti sejenak, aku tiba-tiba dipertemukan lagi dengan hujan itu. Lalu seperti mengulur perih yang tak kunjung usai ketika aku menjamah kenangan bersamamu itu lagi.

Bagaimana kabarmu kini? Pertanyaan itu tiba-tiba menyeruak begitu saja dalam benakku. Masihkah kamu memegang janji yang pernah kita ucapkan dulu? Bertemu lagi di ujung senja ketika warna magenta kian menguar di langit sore. Ya, dalam magenta—warna kesukaan kita. Dua tahun lagi, di tempat ini, berarti tepat setahun lagi janji itu harusnya kita tepati. Namun, benarkah akan terwujud? Benarkah akan benar-benar terwujud? Aku mulai ragu padamu, pada janji kita bahkan pada diriku sendiri.

Bisa saja saat kita mengucap janji aku dan kamu hanya terbawa suasana perpisahan. Tapi bukankah kini sudah menjadi berbeda. Ketakutan menguasaiku lagi. Ketakutan akan benarkah kamu akan menepati janji yang telah kita sepakati dulu. Ketakutan akankah kamu tidak menghilang dan melupakannya begitu saja. Aku takut pula pada diriku sendiri, bisakah aku bisa bertahan dengan kesendirianku dalam penantian yang ku rasa terlalu lama ini. Aku ragu.

Aku benci dalam kesendirian ini. Aku benci menunggu terlalu lama seperti ini. Kenangan dan memori tentangmu bukan semakin jelas dan bertahan dalam benakku, tapi semakin memudar. Aku tak bisa mencegahnya lagi. Aku sudah mengumpulkan seluruh kenangan itu lagi. Aku sudah berusaha tapi nyatanya aku tak mampu. Aku tak bisa sendirian menghadapi ini semua sendirian. Maafkan aku, aku membuka hati untuk orang lain.

Dia telah menungguku bahkan sebelummu datang dalam hidupku. Oh, haruskah aku menceritakan tentangnya padamu? Ini akan melukaimu jika ku teruskan. Kucukupkan saja. Maafkan aku. Maaf, aku mengingkari janji kita untuk tetap setia hingga tiba saatnya aku bertemu lagi denganmu. Katakan aku pengingkar atau caci maki aku. Kamupun tak lagi pernah menjamah bayangku sekalipun.

Hujan, senja, dan magenta mereka kian pudar dalam retianku. Mereka masih indah, tapi tak lagi mampu bermakna seperti ketika kita berdua merasakannya dulu. Terimakasih untuk kenangan yang tersimpan dalam tiga hal itu. Terlalu Indah.

0 komentar:

Posting Komentar